Jumat, 21 Oktober 2011

AKU ANAK BANGSA



AKU ANAK BANGSA
bila fajar yang cerah itu dapat menutup luka ini maka akan aku usahakan fajar itu terus mengarungi diriku
namun keyakinan yang slalu aku buat kini mulai pudar karna dosa yang setiap hari aku lakukan,
berhati satu itu membahagiakan, bahagia melebihi apapun jua....

tuhan pasti mendengar apa yang aku keluhkan saat ini, namun ambisi tuk tetap bertahan tiada lagi dalam batinku, ambisi yang egois tak mementingkan tuhan itu sekarang tiada, tak memperdulikan keesaan itu ada, tak memperdulikan dunia yang semakin hari semakin menertawakan diriku.......

bodohnya aku ini, terombang-ambing oleh dunia yang tak kunjung selesai, di tambah manusia dan pemimpin yang brengsek adanya, aku bukan teroris dan aku bukan penjahat dunia, aku adalah anak bangsa yang sedang merana, kesepian, sengsara dan sakit hati oleh permainan kata para penguasa....

aku anak bangsa yang rindu akan kemakmuran, kemakmuran yang hakiki, kemakmuran yang tiada tara, yang tiada bisa di ukur oleh akal-akal busuk manusia yang hanya ingin mementingkan hasrat dan ambisinya, akulah calon anak negri yang rindu akan kedamaian, kedamaian bukan yang dibuat manusia melainkan kedamainan yang kekal nan abadi selamanya...
akulah anak bangsa yang selalu gandrung akan cinta damai, yang tidak akan tersakiti hatiku walaupun darah membasahi seluruh badanku, karna aku adalah anak bangsa.......

FIKRUL ISLAM


Fikrul Islam

 1. Muqaddimah  1
 2. Islam Satu Metode Kehidupan yang unik 3
 3. Islam adalah Mafahim bagi Kehidupan, bukan sekedar Maklumat 6
 4. Mafahim Islam adalah Patokan-patokan Tingkah Laku Manu­sia
            dalam Kehidupan 9
 5. Syakhshiyah 13
 6. Syakhshiyah Islamiyah 18
 7. Allah adalah Dzat yang Hakiki, bukan sekedar Khayalan dalam
            Otak 22
 8. Makna Laa Ilaaha Illallah 26
 9. Al Qadriyatu al Ghaibiyah  32
10. Rizki Semata-mata dari Sisi Allah 35    
11. Tiada Kematian tanpa Datangnya Ajal 39
12. Kema'shuman Rasul saw 43
13. Rasulullah saw bukan mujtahid 49
14. Ukuran Perbuatan 57
15. Iman terhadap Islam mengharuskan terikat dengan Hukum Syara' 59
16. Asal Suatu Perbuatan terikat dengan hukum Syara', bukan mubah atau haram 62
17. Ibahah adalah hukum asal bagi segala sesuatu/benda yang dimanfaatkan 67
18. Hukum Syara' pasti mengandung maslahat 74
19. Hukum tidak berubah disebabkan perubahan waktu dan tempat 77
20. Pendapat seorang Mujtahid adalah hukum syar'i 79
21. Macam-macam Hukum Syara' 82
22. Seruan dan Bentuk Kalimat Perintah 88
23. Fardlu Kifayah merupakan Kewajiban atas setiap Muslim 90
24. Penentuan Hukum-hukum Ibadah semata-mata dari sisi Allah 92
25. Kekuatan Rohani memiliki Pengaruh paling Besar 95
26. Jihad diwajibkan atas segenap kaum Muslimin 99
27. Kedudukan Do'a di dalam Islam 104
28. Hukum Pidana, Sanksi, dan Pelanggaran di dalam Islam 109
29. Naluri Beragama 115
30. Pengertian Taqdis 118
31. Rasa Takut 122
32. Pemikiran Dan Kesadaran 126
33. Proses Pemikiran 130
34. Peran Instink dalam identifikasi 134
35. Realita dan Persepsi mempengaruhi Naluri Manusia 138
36. Pola Pikir Dains dan Pol Pikir Rasional 142
37. Psikologi, Sosiologi dan Ilmu Pendidikan 148
35. M a b d a ` 155
39. Kesadaran Politik 158
40. Gaya Pengungkapan yang Bercirikan Pemikiran dan sastra 165





MUQADDIMAH

            Membina diri dengan mendalami Tsaqafah Islamiyah adalah kewajiban atas kaum muslimin, baik mendalami nash-nash syar'iy, atau sarana-sarana yang memungkinkannya untuk mendalami dan menerapkan nash-nash tersebut. Tiada beda apakah mendalami tsaqafah yang berkenaan dengan hukum-hukum syara', atau yang berhubungan dengan pemikiran-pemikiran Islam.
            Hanya saja, satu hal yang sangat menyakitkan umat ini adalah semenjak Barat memaklumkan perang terhadap negeri-negeri Islam, sekaligus memerangi kebudayaan dan peradaban­nya. Barat kemudian membentangkan hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islam. Sehingga akhirnya kaum Muslimin berpaling dari Tsaqafah Islam, menyusul peristiwa pendegradasian kekuasaan Islam dan ketergelinciran kaum muslimin dari selamatnya perasaan akan kemuliaan Islam. Semua itu adalah akibat adanya propaganda-propaganda yang sesat dan menyesatkan terhadap Islam dan tsaqafahnya yang disebarkan oleh para penganut kesesatan itu.

            Karenanya, kami pandang ada suatu keperluan untuk menyebarkan sebagian tsaqafah Islamiyah ini, dengan harapan agar kiranya umat manusia, baik yang Islam maupun yang bukan, akan gandrung dengan apa yang mampu membenahi akal mereka, memperbaiki perasaan mereka, dan mengobati kemeroso­tan berpikir yang merajalela di negeri-negeri mereka.

            Kepada Allah jua kami memohon, semoga berkenan memberi pertolongan kepada kaum muslimin untuk menegakkan apa yang diwajibkan atas mereka; yakni membina diri dengan tsaqafah Islam, mengemban dakwah Islam, dan menyebarluaskan tsaqafah­nya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do'a.


ISLAM SUATU METODE KEHIDUPAN YANG UNIK

            Islam adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup lainnya.  Islam mewajibkan pemeluknya untuk hidup dalam satu warna kehidupan tertentu dan konstan, yang tidak berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi.  Islampun mengharuskan mereka untuk selalu mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu kepribadian, yang menjadikan jiwa dan piki­rannya tidak akan merasakan  ketenangan dan kebahagiaan, kecuali  berada  dalam  pola kehidupan itu.

            Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu.  Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum yang global (khuthuuth 'ariidlah), yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia.  Dengan demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah yang muncul dalam kehidupan manu­sia.  Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidu­pan tersebut bersandar pada suatu landasan fikriyah (dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang kehidupan.  Kaidah itupun telah ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul).  Seba­gaimana halnya Islam telah menjadikan hukum-hukum tentang pemecahan problema kehidupan, pemikiran dan ideologi, serta pandangan-pandangan tentang berbagai pendapat baru sebagai sesuatu yang terpancar dari Aqidah Islam, yang digali dari garis-garis hukum yang bersifat global itu.
            Islam memberikan batasan-batasan kepada manusia dengan pemikiran tertentu, tetapi tidak membatasi aktivitas berpi­kir manusia, bahkan memberikan kebebasan kepada akal manu­sia.  Islampun mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.  Bahkan, Islam telah memberinya keleluasaan.
            Oleh karena itu, pandangan seorang muslim terhadap kehidupan dunia ini adalah  suatu  pandangan  yang  penuh  dengan  cita-cita,  serius, realistis, dan proporsional; artinya dunia harus diraih, tetapi bukan menjadi tujuan dan tidak boleh dijadikan tujuan.  Seorang muslim akan bekerja di penjuru dunia ini, memakan rizqi yang berasal dari Allah, menikmati perhiasan-perhiasan dan rizqi yang baik (halal), yang telah dianugerahkan Allah kepada hambaNya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini hanyalah tempat sementara, dan akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.
            Hukum-hukum Islam telah memberikan  cara bagaimana manusia menyelesaikan masalah perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana menerangkan tata cara shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan caranya yang unik, seba­gaimana mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta-benda berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana menjelaskan masalah-masalah haji.  Islam juga memberikan perincian tentang transaksi dan mu'amalat dengan cara yang khas, sebagaimana merinci masalah do'a dan ibadah.  Islam menjelaskan pula  masalah huduud (seperti had pencurian, zina, peminum khamr, dan lain-lain, pen.) dan  jinayat (hukum pidana), serta sanksi-sanksi hukum lainnya,  sebagaimana menjelaskan ten­tang siksa Jahannam dan kenikmatan Jannah.  Di samping itu,  Islampun telah menunjukkan suatu bentuk pemerintahan dan metode penerapannya, sebagaimana telah memberikan suatu dorongan internal (berdasarkan rasa taqwa) untuk menerapkan hukum-hukum Islam dengan tujuan mencari keridlaan Allah SWT.  Begitu juga, Islam memberikan petunjuk bagaimana mengatur hubungan negara dengan  negara, ummat dan bangsa lainnya, sebagaimana memberi petunjuk untuk mengemban da'wah ke seluruh penjuru dunia.  Syari'at Islam telah mengharuskan kaum muslimin, memiliki sifat-sifat yang mulia, dan hal itu harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah SWT, bukan karena sifat itu terpuji menurut pandangan manusia.
            Demikianlah, Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri,  hubungan dengan manusia lainnya, sebagai­mana mengatur hubungannya dengan Allah SWT dalam suatu keserasian pemikiran berikut cara memecahkan masalahnya.  Maka jadilah manusia sebagai mukallaf (yang dibebani hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu doron­gan (motivasi), metode, arah, dan tujuan tertentu.

     Islam mewajibkan seluruh manusia untuk menempuh satu-satunya jalan ini dan meninggalkan jalan-jalan yang lain.  Islam memberikan ancaman siksa yang amat pedih di akhirat kelak, sebagaimana memperingatkan datangnya sanksi-sanksi yang berat di dunia ini.  Manusia, pasti akan merasakan salah satu jenis siksa itu, jika ia menyimpang dari jalan Islam, walaupun hanya seujung rambut.
            Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidu­pan ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan tertentu.  Ia hidup dengan suatu corak dan pola kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekuensi dari pemelukannya terhadap Aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya, serta kewaji­bannya untuk tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum Islam.  Jadi memiliki suatu pemahaman  tertentu tentang kehidupan dan menjalani suatu pola kehidupan tertentu, adalah wajib bagi setiap muslim dan seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
            Sesungguhnya Islam telah menjelaskan semua itu dengan gamblang dalam Kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, yang tercakup dalam masalah aqidah dan hukum-hukum syari'atnya.

            Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual belaka, bukan pula sekedar ide-ide teologi atau kepasturan.  Akan tetapi Islam adalah suatu metode kehidupan tertentu, di mana setiap muslim dan seluruh kaum muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.



ISLAM ADALAH MAFAHIM BAGI KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR MAKLUMAT

            Mafahim Islam bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki penunju­kan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap akal secara langsung, selama masih berada dalam batas jangkauan akalnya.  Namun bila hal-hal tersebut berada di luar jangkauan akal­nya, maka hal itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu yang dapat  diindera, tanpa rasa keraguan sedikitpun.
            Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah penginderaan secara langsung, atau pada sesuatu yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu. Dengan kata lain, seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim.  Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau ditunjuk oleh sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal. Tidak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak memiliki mafhum.  Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima dengan sikap pasrah (memuaskan akal dan jiwanya) dan dipercaya secara pasti, bahwa faktanya ada di dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
            Dengan demikian di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal sama sekali (semacam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib yang diharuskan Islam untuk diimani adalah masalah ghaib yang dapat diterima melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir. 
            Berdasarkan hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di dalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam benak, didasarkan pada proses penginderaan dan bersandarkan pada akal. Karena itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan syari'at Islam.
            Aqidah dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputu­san akal terhadap sesuatu (ide), atau hukum atas sesuatu  (pemecahan masalah),  atau  berita   dari  dan   tentang  sesuatu. Semuanya ini ada faktanya dan pasti adanya.  Dengan kata lain,  pemikiran-pemikiran Islam, hukum-hukumnya, hal-hal yang real inderawi, atau hal-hal ghaib,  semuanya adalah kenyataan yang memiliki fakta di dalam benak dan bersandar­kan pada akal manusia.
            Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malai­kat-MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Kia­mat, dan Qadla-Qadar.   Pembenaran terhadap semua ini diban­gun dari kenyataan yang ada, dan tiap-tiap dari keimanan tersebut memiliki fakta di dalam benak.
            Iman kepada Allah, Al Qur'an, dan kenabian Muhammad saw dibina di atas penemuan bahwa wujud (eksistensi) Allah itu azali, tidak ada awal dan akhir bagiNya.  Dan akal telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat diindera di setiap waktu.  Akalpun telah menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan RasulNya berdasar­kan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai kalamullah yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya.  Maka ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi) Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani.  Dengan demiki­an tiga hal di atas memiliki fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
     Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-Qur'an dan Hadits muta­watir. Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu semua memiliki fakta dalam benak, karena ber­sandarkan pada sesuatu yang terindera, yaitu Al Qur'an dan Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam), yang dapat dijangkau dalam benak. 
            Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas akal berdasarkan pengamatan terhadap perbuatan manusia; bahwa perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti Qadla); dan berdasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat (karakteristik) yang dimiliki benda bukanlah diciptakan oleh benda itu sendiri (arti Qadar).  Buktinya, suatu pembakaran tidak akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya pembakaran kayu perlu derajat panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi, pen.).  Seandainya khasiyat itu diciptakan oleh api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan kehendaknya, tanpa tergantung pada derajat panas atau aturan tertentu. Dengan demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan ciptaan yang lainnya.  Oleh karena Qadla dan Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan perantaraan indera. Maka, keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta dari ide, yang dijangkau dalam benak.
            Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penunjukannya.  Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak seorang muslim yang dapat menginderanya, atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya.  Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat memberikan pengaruh besar terhadap manusia.
            Sedangkan hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau problematika hidup manusia.  Di dalam menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih dahulu mengkaji dan memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang berkaitan dengannya.  Kemudian pemahaman tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan. Jika penerapan itu tepat, menurut pandan­gan seorang mujtahid, maka pemahaman itu pun merupakan hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash lain, hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataan itu. Dengan demikian, maka hukum-hukum Syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta dalam benak (mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat diindera untuk suatu masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada.  Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum syara' adalah merupakan mafahim.
            Dengan demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal.  Tetapi, keduanya merupakan mafahim yang mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait, terikat, dan teratur karenanya.  Atas dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur kehidupan manusia, bukan sekedar informasi atau pengetahuan semata.


MAFAHIM ISLAM ADALAH PATOKAN-PATOKAN TINGKAH LAKU MANUSIA DALAM KEHIDUPAN

            Pemikiran-pemikiran Islam adalah berupa mafahim, bukan sekedar ma'lumat yakni informasi-informasi yang hanya berupa pengetahuan. Arti keberadaannya sebagai mafahim adalah bahwasanya pemikiran-pemikiran Islam memiliki makna yang menunjukan suatu kenyataan dalam kehidupan. Pemikiran-pemik­iran tersebut bukan sekedar keterangan terhadap hal-hal yang disangka keberadaannya secara logis. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, setiap makna yang ditunjuk olehnya memi­liki fakta-fakta  yang dapat diindera oleh setiap manusia; baik itu merupakan mafahim yang membutuhkan pemikiran dan perenungan yang mendalam, atau berupa mafahim yang dapat dipahami dengan mudah. juga apakah makna itu merupakan hal-hal yang dapat diindera, yakni yang memiliki fakta inderawi, seperti ide-ide yang berkaitan dengan pemecahan  problema hidup, pemikiran-pemikiran, dan opini-opini umum, ataukah merupakan hal-hal ghaib tetapi yang menghkabarkannya kepada kita adalah sesuatu yang dapat dipastikan keberadaannya oleh akal secara inderawi, seperti adanya Malaikat, Sorga atau Neraka. Jadi seluruh pemikiran Islam adalah berupa fakta-fakta riil yang memiliki penunjukan-penunjukan (makna) yang nyata dalam jangkauan indera atau benak manusia.  Dengan kata lain merupakan fakta yang memiliki penunjukan yang nyata dalam benak, secara tegas dan pasti.

            Hanya saja, penunjukan yang nyata tersebut bukanlah merupakan pembahasan semisal astronomi, pengetahuan tentang kedokteran, atau konsep pemikiran yang berkaitan dengan ilmu kimia yang telah disampaikan kepada kita guna memanfaatkan apa yang ada dalam alam semesta.  Tetapi sebaliknya, penun­jukan-penunjukan itu merupakan patokan-patokan tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia ini dan untuk menuju    kehid­upan akhirat, tak ada hubungannya dengan selain itu. Pato­kan-patokan itu datang sebagai petunjuk dengan membawa rahmat, peringatan dan nasehat.  Juga untuk memecahkan problema hidup yang timbul dari perbuatan manusia serta menentukan bentuk tingkah lakunya.

            Jika kita menelusuri mafahim ini dalam nash-nash yang menjadi sumber mafahim tersebut, yakni nash-nash yang menerangkan pemikiran-pemikiran yang melahirkan  mafahim tersebut, maka akan kita dapati bahwa seluruh nash yang ada, datang dalam bentuk ini (sebagai patokan tingkah laku manu­sia) tidak dalam bentuk lain; dan terbatas hanya pada pemba­hasan ini. Jadi, nash-nash Al Qur'an dan Sunnah, baik dari segi manthuqnya (apa yang ditunjuk oleh lafadz), atau dari segi mafhumnya (apa yang ditunjuk oleh makna lafadz), atau­pun dari segi dilalahnya, seluruhnya terbatas dalam satu cakupan, yaitu aqidah dan hukum-hukum yang terpancar dari aqidah, termasuk pemikiran-pemikiran yang dibangun di atas aqidah tersebut. Tidak ada pembahasan selain itu.  

            Oleh karena itu setiap muslim diwajibkan memahami bahwa nash-nash syari'ah, yaitu Al Qur'an dan Sunnah, datang untuk diamalkan, dan khusus ditujukan  terhadap tingkah laku manusia dalam kehidupan. Dengan kata lain, setiap muslim wajib menyadari dua hal dalam Islam, yaitu:

Pertama:
            Bahwasanya Islam datang dengan membawa mafahim sebagai patokan untuk mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan dunia ini, dan menuju kehidupan akhirat. Kemudian, ia pun mengam­bil setiap pemikiran Islam sebagai patokan (peraturan) untuk mengatur tingkah lakunya sesuai dengan peraturan tersebut. Jadi yang menonjol dalam Islam adalah segi amaliyah (prak­tis), bukan segi ta'limiyah (teoritis) semata. Perlu diketa­hui, jika Islam diambil dari segi teori semata, tentu akan kehilangan shibghah (warna) aslinya, yaitu kedudukannya sebagai patokan  untuk mengontrol tingkah laku manusia; dan akhirnya Islam pun hanya akan sekedar menjadi pengetahuan belaka, sebagaimana ilmu geografi dan sejarah. Dengan demi­kiaan Islam akan kehilangan daya hidup (power) yang ada padanya, dan iapun tidak akan menjadi Islam yang murni, tetapi hanya sekedar pengetahuan Islam, yang dapat ditan­dingi oleh kaum orientalis kafir yang tidak mengimani apa yang mereka pelajari dari Islam, dan orang-orang yang mempe­lajarinya hanya untuk menghantam Islam dan pemeluknya.  Dua orang tersebut akan sama kedudukannya dengan seorang Muslim yang 'alim, yang beriman pada ajaran Islam, tetapi mensi­fatinya sekedar sebagai
pengetahuan atau kepuasan intelektual, tanpa terlintas dalam hatinya untuk megambil ajaran-ajaran Islam sebagai patokan bagi tingkah lakunya dalam kehidupan ini.
            Oleh karena itu, mengetahui pemikiran-pemikiran Islam dan hukum syara' tanpa merealisasikannya sebagai patokan tingkah laku manusia dalam kehidupan ini adalah suatu penya­kit yang menjadikan Islam tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku kaum muslimin dewasa ini.

Kedua :
            Wajib disadari oleh setiap muslim tentang Diinul Islam, bahwasanya Al Qur'an dan Sunnah diturunkan tidak lain seba­gai Diin dan Syari'at, bukan sekedar pengetahuan atau ilmu semata.  Dan keduanya, tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan manapun, baik itu ilmu sejarah, geografi, ilmu alam, kimia, atau penciptaan-penciptaan dan penemuan-penemuan ilmiyah.
            Ayat-ayat yang tercantum dalam Al Qur'an tentang bulan, bintang, planet, gunung, sungai, hewan, burung, dan tumbuh-tumbuhan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:


            "(Dan) matahari berjalan (berputar pada lingkaran yang ditentukan) sampai ia berakhir (pada batas tertentu).  (QS Yaasin: 38)


            "(Api neraka) yang menembus ke dalam"  (QS Al Humazah: 7)

            Begitu juga ayat-ayat lain yang serupa dengan kedua ayat tersebut, tidak memiliki suatu petunjuk pun terhadap ilmu pengetahuan. Ayat-ayat itu bermaksud mengajak manusia memperhatikan kekuasaan Allah, menjadi petunjuk terhadap keagungan Allah, serta memberi petunjuk kepada manusia tentang hal-hal yang dapat menundukkan akalnya, akan sangat perlunya beriman kepada Allah SWT.
            Jadi  ayat-ayat tersebut adalah bukti-bukti kekua­saan dan keagungan Allah SWT, serta merupakan himbauan kepada akal manusia untuk melakukan pengamatan, agar ia sadar dan mengambil petuah dari ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu bukanlah dimaksudkan untuk sekedar pembahasan di bidang sains atau ilmu pengetahuan umum.

            Jadi, pemikiran-pemikiran Islam yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah tidaklah sekedar sebagai pengeta­huan atau pembahasan teoritis, tetapi diturunkan untuk memecahkan  problematika kehidupan manusia; dan merupakan patokan-patokan bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia, serta dalam perjalannya menuju kehidupan akhirat.


SYAKHSHIYAH ( Kepribadian Manusia )

            Kepribadian dalam diri setiap orang, terdiri dari pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak ada hubun­gannya dengan wajah, bentuk tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu hanyalah asesoris semata. Adalah suatu kedangkalan berpikir, bila seseorang menyangka asesoris semacam ini  sebagai salah satu faktor kepribadian atau berpengaruh terhadap kepribadian.  Sebab, manusia dapat dibedakan melalui akal dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat seseorang. Oleh karena tingkah laku manusia dalam kehidupan ini tergantung pada mafahimnya.  Maka dengan sendirinya tingkah laku manu­sia pun terikat erat dan tidak bisa dipisahkan dengan mafa­him yang dimilikinya.
            Tingkah laku (suluk) adalah perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan kebutuhan jasmaninya.  Tingkah laku ini, berjalan secara pasti sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan (muyul) yang ada pada diri manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut.  Oleh karena itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah penyangga bagi syakhshi­yahnya.

            Sedangkan apa yang dimaksud dengan 'mafahim', dari apa sebenarnya mafahim ini tersusun, apa saja yang dapat diha­silkannya, kemudian apa yang dimaksud dengan kecenderungan (muyul), apa yang menimbulkannya dan apa saja pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya, maka hal ini memerlukan penje­lasan sebagai berikut: 
            Mafahim adalah makna-makna pemikiran, bukan makna-makna lafadz. Sedangkan lafadz adalah ucapan-ucapan yang menunjuk­kan  makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan mungkin pula tidak ada.  Seperti perkataan penyair:

                        "Di antara kaum lelaki, ada seseorang
                        yang jika diserang
                        bagaikan piramid besi yang kokoh,
                        dan jika dilontarkan kebenaran (aqidah)
                        di hadapannya
                        luluhlah keperkasaannya
                        hancurlah mereka".

            Makna syair diatas dapat ditemukan dalam kenyataan, dan dapat dijangkau oleh panca indera, walaupun untuk menemukan­nya diperlukan kedalaman dan kecemerlangan berpikir.  Namun bila Penyair berdendang:
                        "Mereka berkata
                        Apakah orang itu mampu
                        Menembuskan tombak
                        Pada dua orang serdadu sekaligus
                        Di hari pertempuran
                        Dan kemudian
                        tidak menganggapnya itu
                        Sebagai hal yang dasyat!
                        Kujawab mereka
                        'Andaikan
                        Panjang tombaknya satu mil, tentu
                        akan menembus serdadu yang berbaris
                        sepanjang satu mil'"
    
Maka makna syair ini tidak terwujud sama sekali dalam kenya­taan. Seseorang tidak mampu menembuskan tombak pada dua orang sekaligus, dan dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang menanyakan hal itu. Juga tidak mungkin ia menusukkan tombak sepanjang satu mil. Makna-makna yang terdapat dalam kalimat tersebut di atas menjelaskan dan menafsirkan lafadz-lafadz syair itu.
            Adapun arti yang ditunjukkan oleh pemikiran, adalah apabila makna yang dikandung oleh suatu lafadz memi­liki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan dalam benak sebagai sesuatu yang dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau menggambarkannya dalam benak. Tetapi, tidak menjadi mafhum bagi orang yang belum dapat mengindera atau menggambarkan­nya, meskipun orang tersebut memahami langsung makna kalimat yang disampaikan kepadanya, atau yang ia baca.  Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ungkapan yang dibaca atau didengarnya dengan cara berfikir; dengan kata lain hendaklah ia memahami makna-makna pada kalimat sebagai­mana yang ditunjukkan oleh maksud kalimat tersebut, bukan yang diinginkan atau dikehendaki oleh orang yang mengucap­kannya.  Dan pada saat yang sama ia harus memahami pula fakta dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut sehingga makna-makna itu menjadi mafahim baginya.
            Berdasarkan penjelasan di atas, mafahim adalah makna-makna yang bisa dijangkau yang memiliki fakta dalam benak, baik fakta yang bisa diindera di luar, atau berupa fakta yang diyakini keberadaanya di luar, dengan suatu keyakinan yang didasarkan kepada suatu fakta (bukti) yang bisa diindera. Selain dari hal diatas, yaitu berupa makna-makna lafadz atau kalimat saja, tidak bisa disebut sebagai mafhum melainkan hanya sekedar 'maklumat' atau pengetahuan belaka.
            Mafahim ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila kita ingin memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (se­tiap) pengetahuan dengan kenyataan (bila ingin mengetahui realitanya). Setelah terbentuknya mafahim itu maka akan lebih jelas lagi bila didasarkan pada satu atau lebih landa­san (ideologi) yang dijadikan tolok ukur untuk fakta dan pengetahuan ketika ia berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas bila  memiliki cara berpikir tertentu terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki), maka akan terbentuklah pada orang tersebut suatu pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata, kalimat serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam benaknya. Kemudian barulah dia menentukan sikap terhadapnya.  Dengan demikian aqliyah adalah cara yang digunakan dalam memahami atau memikirkan sesuatu. Dengan kata lain, aqliyah adalah cara yang digunakan dalam mengkaitkan kenyataan dengan pengetahuan atau sebaliknya, yang disandarkan kepada satu atau lebih landasan (ideologi). Dari sinilah timbulnya perbedaan pola berpikir (aqliyah); seperti pola pikir Isla­mi, pola pikir komunis, pola pikir kapitalis, pola pikir anarkis atau pola pikir yang teratur.

            Adapun apa yang dihasilkan oleh mafahim, maka hal itu adalah sebagai penentu tingkah laku manusia terhadap kenya­taan yang dapat dipikirkannya, juga sebagai penentu corak kecenderungan manusia terhadap kenyataan tersebut, apakah diterima ataukah ditolak.  Bahkan kadang-kadang dapat mem­bentuk suatu kecenderungan dan satu kesukaan tertentu.

            Akan halnya kecenderungan  (muyul); adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhannya, dan senantiasa terikat dengan mafahim yang ia miliki tentang hal-hal yang direncanakan untuk memenuhi kebutuhannya.
            Sedangkan yang menimbulkan kecenderungan itu adalah energi dinamis yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmani, serta daya pikir yang meng­kaitkan antara "kemampuan/potensi dengan mafahim".  Dengan kecenderungan tersebut, atau keinginan yang terkait dengan mafahim tentang kehidupan, maka akan terbentuklah pola sikap (nafsiyah) manusia.
            Berdasarkan keterangan di atas, maka 'nafsiyah' adalah cara yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Dengan kata lain 'nafsiyah' adalah cara yang digunakan untuk mengikat dorongan memenuhi kebutuhan dengan mafahim. Nafsiyah itu adalah gabungan antara keinginan manusia yang bergejolak secara pasti dan normal dalam diri­nya, dengan mafahim terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya, yang terikat dengan mafahimnya tentang kehidupan.
            Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah (kepribadian manusia). Walaupun akal dan pemikiran ada secara fitri dan pasti keberadaanya pada setiap manusia, akan tetapi pembentukan aqliyah terjadi dari hasil usaha manusia sendiri. Demikian juga dengan kecenderungan, walau­pun ada secara fitri dan pasti keberadaanya, tetapi pemben­tukan nafsiyah terjadi dari hasil usaha manusia itu sendiri.  Sebab  yang  menjelaskan makna suatu pemikiran sehingga menjadi mafhum adalah adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk pengeta­huan dan kenyataan ketika seseorang berpikir.  Dan karena yang menjelaskan dan menentukan keinginan sehingga menjadi suatu kecenderungan adalah gabungan (kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim.  Maka adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika manusia berfi­kir, mempunyai pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqli­yah dan nafsiyah.  Berarti juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk syakhsiyah dengan suatu cara yang khas, yang berbeda dengan yang lain.
            Apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang sama dengan apa yang digunakan untuk membentuk Nafsiyah, yaitu membutuhkan satu atau lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda dengan yang lain.
            Tetapi apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang berbeda dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, yaitu berupa satu atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa aqliyah seseorang berbeda dengan nafsiyahnya, dengan kata lain ia akan memi­liki pola sikap yang berbeda dengan pola pikirnya.  Sebab dengan keadaan tersebut ia akan mengkaitkan kecenderungannya kepada satu atau lebih landasan (ideologi) yang masih ada dalam dirinya sejak semula (sebelum mempunyai pola pikir yang baru, pent.).  Dengan demikian ia akan mengaitkan kecenderungannya dengan mafahim (lama) yang berbeda dengan mafahim (baru) yang telah membentuk aqliyahnya, kemudian akan terbentuk pada dirinya suatu kepribadian yang kacau, yang tidak memiliki corak dan warna tertentu, sehingga pemikirannya berbeda dengan kecenderungannya.  Hal ini disebabkan karena ia memahami kata-kata, kalimat-kalimat dan kejadian-kejadian dengan cara yang bertentangan dengan kecenderungannya terhadap apa yang ada di sekitarnya

            Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan pembentukannya adalah dengan cara mewujudkan satu landa­san (ideologi) tertentu yang digunakan secara bersamaan bagi aqliyah maupun nafsiyahnya. Dengan kata lain landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk penge­tahuan dan kenyataan ketika manusia berfikir, harus  diguna­kan pula untuk menggabungkan kecenderungan dengan mafahim.  Dengan cara ini terbentuklah sebuah kepribadian yang diban­gun atas suatu landasan ideologis serta tolok ukur tertentu, yang mempunyai corak warna tertentu.


SYAKHSHIYAH  ISLAMIYAH

            Islam telah memperbaiki diri manusia secara sempurna guna mewujudkan adanya suatu syakhshiyah tertentu yang khas, dan berbeda dengan yang lain. Islam telah memperbaiki pemik­iran dengan aqidah Islam, yaitu menjadikan aqidah sebagai landasan berfikir (qa'idah fikriyah) yang menjadi dasar pemikiran manusia yang dapat membina dan membentuk mafahim­nya; agar ia mampu membedakan antara pemikiran yang benar dan yang salah tatkala melakukan standarisasi suatu pemiki­ran dengan aqidah Islam. Ia menjadikan aqidah Islam sebagai dasar untuk membina dan membentuk mafahimnya, karena Islam merupakan qa'idah fikriyah. Dengan demikian disamping akan terbentuk aqliyah yang dibangun berdasarkan aqidah, sehingga ia memiliki aqliyah yang khas, yang berbeda dengan yang lain, juga memiliki suatu tolok ukur yang benar untuk setiap pemikiran/ide. Dengan demikian ia akan selamat dari keterge­linciran dan kesalahan serta kerusakan berfikir. Ia akan tetap benar dalam berfikir, dan tepat dalam memahami segala sesuatu.
            Pada saat yang sama, Islam telah mengatur perbuatan manusia yang muncul dari kebutuhan jasmani dan gharizahnya dengan hukum-hukum syara' yang terpancar dari aqidah Islam. Peratuan-peraturan tersebut adalah peraturan yang benar, yang mengatur gharizah, bukan menindasnya; yang dapat menga­rahkan dan bukan membiarkanya liar tanpa kendali. Islam menawarkan pemenuhan seluruh kebutuhannya secara serasi dan harmonis, sehingga ia merasakan kebebasan dan ketenangan.    Disamping itu Islam menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan manusia secara harmonis, sehingga mendatangkan ketenangan dan ketentraman. Islam telah menjadikan aqidah Islam sebagai aqidah yang dapat difikirkan (dijangkau oleh aqal), sehingga tepat untuk dijadikan sebagai landasan berfikir yang diguna­kan sebagai tolok ukur terhadap seluruh pemikiran yang ada, dan dijadikan pula sebagai suatu pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan.  Sebab, manusia hidup di bumi yang merupakan bagian dari alam semesta, maka pemikiran yang menyeluruh tersebut harus dapat memecahkan seluruh simpul-simpul problema yang ada di dalam dan diluar diri manusia.

            Oleh karena itu pemikiran menyeluruh yang disodorkan Islam ini, sangat layak dijadikan sebagai mafhum umum, yaitu sebagai tolok ukur yang dapat digunakan secara langsung pada saat terjadinya perpaduan antara dorongan jasmani dan naluri dengan mafahim manusia terhadap masalah yang dihadapi, sekaligus menjadi dasar terbinanya kecenderungan-kecenderun­gan manusia.
            Dengan demikian Islam telah menanamkan dalam diri manusia suatu qa'idah fikriyah yang pasti, yang berfungsi sebagai tolok ukur yang paten bagi mafahim maupun kecende­rungan-kecenderungannya pada waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, ia berfungsi sebagai standart bagi aqliyah dan nafsiyahnya, sehingga dapat menghasilkan suatu kepribadian khas, yang berbeda dengan kepribadian yang lain.
            Dari sini kita dapati, bahwasanya Islam membentuk Syakhshiyah Islamiyah seseorang dengan aqidah Islam.  Dengan aqidah itulah dibentuk aqliyah dan nafsiyahnya. Jelaslah bahwa aqliyah Islamiyah adalah berfikir atas dasar Islam.  Artinya, menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum tentang berbagai pemikiran mengenai kehidupan. Aqliyah Islamiyah tidaklah hanya dimiliki oleh orang-orang cerdik pandai atau kaum intelektual/pemikir saja, tetapi cukup bila seseorang menjadikan Islam sebagai asas bagi seluruh pemiki­rannya secara praktis dan faktual, agar ia memiliki suatu aqliyah Islamiyah dalam dirinya.
            Adapun nafsiyah Islamiyah adalah menjadikan seluruh kecenderungannya atas dasar Islam.  Artinya, ia jadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan (jasmani dan naluri). Nafsiyah ini tidak hanya dimiliki oleh kaum sufi (yang menghabiskan waktunya untuk beribadah), atau orang-orang yang fanatik terhadap agamanya, Tetapi cukuplah bila seseorang menjadikan Islam sebagai standar bagi seluruh aktifitas pemenuhan kebutuhan (jasmani dan naluri)nya secara praktis dan layak, agar ia memiliki suatu nafsiyah Islamiyah dalam dirinya.
            Dengan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah tersebut, terben­tuklah syakhshiyah Islamiyah seseorang tanpa memperhatikan lagi apakah ia seorang 'alim ataukah jahil; apakah ia melak­sanakan fardlu, sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh; atau apakah ia melakukan lebih dari itu. Dengan kata lain mengerjakan berbagai perbuatan yang mendatangkan ketaatan dan disukai Allah serta menjauhi hal-hal yang syubhat. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat mewujudkan/membentuk syakhshiyah Islamiyah. Sebab setiap orang yang berfikir di atas landasan Islam dan menjadikan hawa nafsunya tunduk terhadap Islam, berarti telah terbentuk dalam dirinya suatu syakhshiyah Islamiyah.
            Memang benar bahwasanya Islam memerintahkan memperbany­ak penguasaan Tsaqafah Islamiyah untuk mengembangkan aqliyah tersebut, sehingga memiliki kemampuan untuk menilai (mem­banding-bandingkan) setiap pemikiran. Islampun memerintahkan untuk melakukan amal-amal perbuatan yang wajib, mandub (sunah) serta amal-amal perbuatan yang disukai Allah, men­inggalkan sebanyak mungkin perbuatan-perbuatan yang haram, makruh, atau syubhat, untuk memperkuat nafsiah tersebut sehingga memiliki kemampuan untuk menolak setiap kecenderun­gan yang berlawanan dengan Islam. Semua itu berfungsi untuk meningkatkan derajat Syakhsiyah dan menjadikan dirinya berjalan di jalan yang luhur dan mulia, tetapi bukan berarti orang yang tidak mengerjakan semua itu tidak memiliki Syakh­siyah Islamiyah.  Dia tetap memiliki Syakhsiyah Islamiyah, sebagaimana halnya orang-orang awam yang tingkah lakunya dianggap Islami, begitu pula para pelajar yang terbatas hanya mengerjakan perbuatan-perbuatan yang wajib dan mening­galkan yang haramnya saja. Mereka masih memiliki Syakhsiyah Islamiyah, walaupun kadar kekuatan Syakhsiyah Islamiyahnya berbeda-beda, namun demikian seluruhnya termasuk memiliki Syakhsiyah Islam.  Yang penting dalam menentukan bahwa seseorang memiliki Syakhsiyah Islamiyah adalah tindakan yang menjadikan Islam sebagai asas bagi pemikiran dan kecenderun­gannya. Dari sini dapat diketahui adanya perbedaan tingkatan Syakhsiyah Islamiyah, Aqliyah Islamiyah (pola pikir islam) dan Nafsiyah Islamiyah (kecenderungan jiwa Islam).
            Oleh karena itu, suatu kesalahan besar bagi mereka yang menggambarkan bahwa Syakhsiyah Islamiyah itu ibarat "Malai­kat". Besar sekali bahayanya (pendapat) orang-orang semacam itu dalam masyarakat. Sebab, mereka akan mencari "malaikat" di tengah-tengah masyarakat manusia dan pasti mereka tidak akan menemukannya, sekalipun pada dirinya sendiri. Akibatnya merekapun dihinggapi rasa putus asa, kemudian menjauhkan diri dari kaum Muslimin.  Para pengkhayal ini telah menyang­ka bahwa Islam itu hanya khayalan belaka; dan mustahil diterapkan (dalam kehidupan). Islam itu ibarat sesuatu yang amat indah, yang tidak mungkin bagi manusia mampu menerap­kannya atau dapat meraihnya, yang pada akhirnya mereka menjauhkan dan menghalangi manusia dari Islam, dan melumpuh­kan serta mematikan (semangat) banyak orang untuk beramal (berjuang).
            Padahal Islam datang ke dunia untuk diterapkan secara nyata. Islam adalah sesuatu yang riil bukan suatu hal yang sulit untuk menerapkannya.  Setiap manusia, betapapun lemah pemikirannya, dan bagaimanapun kuatnya naluri serta kebutu­han jasmaninya, memiliki kemungkinan untuk menerapkan Islam pada dirinya dengan mudah, setelah sebelumnya memahami aqidah Islam dan mempunyai sosok kepribadian yang Islami. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai suatu tolak ukur bagi pola pikir dan kecenderungan (jiwa)nya, kemudian berjalan sesuai dengan tolak ukur tersebut maka pastilah ia memiliki syakhshiyah Islam.  Kemudian ia perkuat syakhshiyahnya dengan menambah tsaqafah Islam untuk mengem­bangkan pola pikirnya dan dengan mengerjakan  perbuatan-perbuatan (amal ibadah) yang mendorongnya untuk taat (kepada Allah) dalam rangka memperkuat nafsiyah (jiwa)nya, sehingga ia berjalan mencapai derajat yang luhur dan tetap (memperta­hankan) derajatnya yang tinggi itu di dunia, serta dapat meraih keridlaan Allah SWT di dunia dan akhirat.


ALLAH ADALAH DZAT YANG HAKIKI BUKAN SEKEDAR KHAYALAN DALAM OTAK

            Banyak orang di muka bumi ini, terutama di dunia Barat, yang meyakini dan mengimani adanya Tuhan. Tetapi keyakinan dan keimanan mereka ini didasarkan pada suatu anggapan, bahwa Tuhan itu hanyalah sekedar ide (pandangan), bukan sesuatu yang riil (yakni mempunyai pengaruh terhadap kehidu­pan).  Mereka beranggapan bahwa iman akan adanya "Tuhan" berarti iman kepada "Ide ketuhanan", suatu ide yang menurut mereka bagus, karena selama manusia mengkhayalkan ide terse­but, meyakini dan tunduk pada khayalannya itu, ia akan terdorong menjauhi keburukan dan mengerjakan kebajikan. Dan ini menurut mereka merupakan dorongan dari dalam, yang pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dorongan dari luar. Oleh karena itu mereka beranggapan bahwa beriman akan adanya Tuhan merupakan suatu keharusan, dan (keimanan semacam ini) harus digalakkan agar manusia tetap terdorong secara sukare­la melakukan kebajikan dengan dorongan dari dalam, yang mereka namakan sebagai waaziu'ud diini (bisikan hati).
            Orang-orang (yang berpandangan) semacam itu sangat mudah terjerumus kedalam atheisme; atau murtad dari sesuatu yang mereka imani; pada saat akal mereka mulai berfikir dan mencoba menjangkau hakekat wujud Tuhan (yang mereka khayal­kan). Apabila akal belum mampu menjangkaunya, atau menjang­kau pengaruh/tanda adanya Khaliq, mereka dengan segera mengingkari wujud Tuhan dan kufur terhadap Allah. Lebih celaka lagi, keyakinan bahwa Tuhan itu hanya suatu  ide (pemikiran/khayalan) bukan sesuatu yang riil, akan menjadi­kan pula perbuatan baik dan buruk hanya sekedar ide, bukan sesuatu yang riil. Akibatnya manusia mengerjakan atau men­jauhi suatu perbuatan menurut kadar khayalannya tentang ide kebaikan dan keburukan tersebut.
            Penyebab mereka memiliki iman semacam itu adalah karena mereka tidak menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah. Mereka tidak berusaha menguraikan secara aqliy simpul masa­lah besar, yaitu pertanyaan alami mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan ketiga unsur (alam, manusia, dan kehidupan) tersebut dengan apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Namun demikian mereka terima pemecahan ini dari orang-orang yang diinginkannya (gereja), Mereka mempertahankan keimanannya ini tanpa beru­saha menjangkau eksistensi yang mereka imani.  Memang banyak diantara mereka yang berusaha menggunakan akalnya, namun mereka selalu mendapat jawaban, bahwa agama itu berada di luar akal manusia (misteri), sehingga hal ini memaksanya untuk berdiam dan tidak bertanya lagi.
            Sesungguhnya yang benar adalah bahwa Allah itu (suatu Dzat yang) hakiki bukan hanya sekedar ide (khayalan) belaka. WujudNya pun dapat dijangkau dan di indera, meskipun suatu hal yang mustahil untuk menjangkau dan melihat DzatNya.  Bukankah anda melihat bahwa, seseorang dapat meyakini adanya pesawat hanya semata-mata dengan mendengarkan suaranya yang menggema di udara, meskipun ia duduk di dalam suatu ruangan.
            Dengan kata lain, melalui perantaraan indera yang dapat mendengarkan bunyi pesawat terbang ia memahami adanya pesa­wat tersebut meskipun ia sendiri tidak melihat dan tidak mampu mengindera Dzatnya. Dari sinilah ia meyakini kebera­daan pesawat (yang ada di udara) hanya dari mendengar suara­nya. Yaitu membenarkan dengan pasti dan yakin keberadaan pesawat terbang tersebut.  Memahami "keberadaan" pesawat berbeda dengan memahami dzat pesawat. Memahami dzatnya tidak akan diperoleh karena tidak mampu menjangkau dzatnya. Se­dangkan memahami keberadaannya dapat diperoleh dengan pasti hanya melalui suara (pesawat)nya. Wujud (eksistensi) pesawat terbang adalah suatu hal yang riil, bukan semata-mata ide khayalan.           Demikian pula halnya dengan segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh indera manusia maka keberadaannya adalah hal yang pasti dan meyakinkan karena dapat disaksikan dan  diindera, begitu juga adanya sifat saling membutuhkan antara suatu benda dengan dzat lainnya adalah sesuatu yang pasti, karena manusia dapat menyaksikan dan menginderanya. Gugusan bintang-bintang di angkasa sangat membutuhkan aturan (agar bisa beredar dengan rapi) begitu pula api memerlukan  si pemakai untuk bisa menyala; begitulah halnya dengan segala sesuatu yang dapat diindera pasti membutuhkan  kepada yang lain. Segala sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain, tidak mungkin bersifat azali (tidak berawal dan tidak berak­hir), sebab bila ia bersifat azali tentu tidak akan membu­tuhkan kepada yang lain. Dengan adanya sifat membutuhkan kepada yang lain inilah, menunjukkan bahwa ia tidak bersifat azali. Dengan demikian merupakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera seluruhnya adalah mahluk secara pasti. Sebab benda-benda tersebut bersifat azali, jadi dengan kata lain merupakan mahkluk (ciptaan) Sang Pencipta. Penginderaan terhadap makhluk-makhluk (Allah) sebagaimana penginderaan terhadap suara pesawat adalah sesuatu yang pasti. Keberadaan Khaliq yang menciptakan segenap makhluk-makhluk ciptaanNya, laksana keberadaan pesawat yang mengeluarkan suara, merupakan sesua­tu yang pasti juga. Jadi keberadaan Khaliq bagi makhluk-makhlukNya adalah sesuatu yang tidak mungkin diingkari (pasti).
            Manusia telah memahami  (keberadaan) makhluk-makhluk itu dengan indera dan akalnya. Dengan penginderaan terhadap makhluk-makhluk itulah maka manusia dapat memahami kebera­daan Khaliq dengan pasti.  Dengan demikian keberadaan (eksistensi) Khaliq merupakan sesuatu yang hakiki (riil), karena eksistensiNya dapat dijangkau oleh manusia melalui inderanya. Dia bukanlah sekedar ide (khayalan) dalam benak manusia.
            Ditinjau secara aqliy, Al-khaliq wajib bersifat azali. Sebab, jika Dia tidak bersifat azali tentulah membu­tuhkan kepada yang lain, bila demikian halnya berarti Dia makhluk.  Oleh karena itu alam real tidak bersifat azali, sebab membutuhkan aturan dan keadaan tertentu yang tidak bisa lain kecuali harus selalu terikat pada aturan dan kondisi tersebut.

            Begitu pula halnya dengan materi yang bersifat tidak azali karena membutuhkan yang lain, tidak bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain  kecuali dengan proporsi dan aturan tertentu serta tidak bisa lain kecuali terikat pada aturan.  Jadi materi itu bersifat membutuhkan kepada yang lain.  Oleh karena itu, baik alam real maupun materi bukanlah pencipta.  Sebab, keduanya tidak bersifat azali dan qadim (terdahulu). Maka, tidak ada kemungkinan pencipta yang lain, selain Allah ta`ala. Dengan kata lain Dialah yang bersifat azali dan qadim, yang sebagian orang menyebutnya "Allah, God, Sang Hyang Widi, atau semisalnya.  Semuanya menunjukkan maksud yang sama yaitu Allah, pencipta yang Azali dan Qadim.

            Walhasil, Allah itu adalah Dzat yang hakiki, yang dapat dijangkau eksistensiNya oleh indera manusia melalui kebera­daan makhluk-makhlukNya, Tatkala manusia takut kepada Allah, sebenarnya ia takut kepada Dzat yang benar-benar ada, yang dapat dijangkau eksistensiNya melalui indera. Dan ketika dia beribadah kepada Allah serta bertaqarrub kepadaNya, sebenar­nya ia tengah beribadah kepada Dzat yang benar-benar ada, yang dapat dijangkau keberadaanNya oleh indera manusia. Begitu juga, ketika ia memohon keridlaan Allah, sesungguhnya ia tengah meminta keridlaan dari Dzat yang ada secara hakiki yang dapat dijangkau eksistensiNya oleh indera manusia. Oleh karena itu, tatkala manusia takut dan beribadah kepada Allah serta memohon keridlaanNya, semua itu dilakukannya dengan penuh keyakinan tanpa secuilpun keraguan.


MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH

            Secara fitri, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk mensucikan sesuatu (taqdis). Berdasarkan fitrahnya itulah, manusia melakukan ibadah terhadap sesuatu. Berarti ibadah merupakan manifestasi (hasil reaksi) alami dari naluri  beragama (gharizah tadayyun).  Oleh karena itu manusia akan merasakan suatu ketentraman dan kebahagiaan, tatkala melakukan ibadah.  Sebab ketika itu ia telah meme­nuhi tuntutan gharizah tadayyun.
            Namun demikian masalah ibadah tidak boleh diserahkan begitu saja kepada persepsi dari dalam (Wijdan) untuk menen­tukan apa yang seharusnya diibadahi.  Sebab hanya mengandal­kan wijdan senantiasa memiliki kecenderungan terjadi kesala­han dan dapat menyeret ke jurang kesesatan.  Sebagian besar sesembahan manusia yang disembah berdasarkan dorongan wijdan saja  adalah suatu hal yang sebenarnya harus dilenyapkan dan sebagian besar yang disucikan oleh manusia berdasarkan wijdan saja adalah suatu hal yang harus direndahkan. Apabila wijdan dibiarkan menentukan sendiri apa yang selayaknya disembah oleh manusia, maka hal ini dapat membawa kepada kesesatan dalam beribadah yaitu selain kepada sang pencipta; atau dapat menjerumuskannya pada perbuatan khurafaat, dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, tetapi malahan menjauhkan dari Al-Khaliq.
            Hal seperti itu bisa saja terjadi, sebab wijdan adalah suatu perasaan yang terbentuk dari naluriah semata (ihsaas gharizy); atau suatu perasaan yang muncul dari dalam manusia yang nampak akibat adanya suatu kenyataan yang diindera atau dirasakan berinteraksi dengan manusia, atau bisa juga muncul dari suatu proses pemikiran yang dapat membangkitkan perasaan itu apabila manusia kembali hanya mengandalkan perasaannya saja untuk sampai pada kesimpulan di atas tanpa disertai proses berpikir maka kemungkinan besar akan terjerumus dalam kesesatan atau kesalahan.  Misalnya saja pada suatu malam anda melihat sebuah bayang-bayang hitam, sehingga menyangka itu adalah musuh.  Maka anda akan digerakkan oleh naluri mempertahankan diri (ghari­zatul baqa') sebagai bentuk rasa takut.  Kemudian perasaan anda mengambil reaksi terbaik yaitu dengan cara berlari.  Tindakan seperti ini tentu saja merupakan suatu kesalahan, sebab anda telah berlari karena takut terhadap sesuatu yang mungkin tidak ada.  Dan andapun lari dari sesuatu yang seharusnya dilawan, sehingga reaksi anda adalah munculnya rasa takut yang (dengan berlari) adalah tindakan yang salah.  Akan tetapi jika anda menggunakan akal dan memikirkan pera­saan yang mencengkram diri anda, sehingga anda putuskan sikap reaksi yang seharusnya, maka akan jelaslah bagi anda, tindakan apa yang seharusnya dilakukan.  Barangkali akan jelas kemudian, bahwa bayangan itu hanyalah sebuah tiang listrik, pohon, atau hewan, sehingga lenyaplah rasa takut dalam diri anda, dan anda dapat terus berlalu. Dan mungkin juga akan jelas bagi anda, bahwa bayangan itu adalah seekor binatang buas, sehingga tidak mungkin anda berlari dihada­pannya. Anda harus berusaha mencari perlindungan; dengan memanjat pohon misalnya, atau berlindung di dalam rumah. Maka andapun akan selamat.
            Oleh karena itu, manusia tidak diperbolehkan (begitu saja) memenuhi tuntutan gharizah, kecuali disertai dengan penggunaan akal.  Dengan kata lain, tidak boleh ia melakukan suatu tindakan yang semata-mata berasal dari dorongan wijdan saja, tetapi sebaliknya harus menggabungkan akal dengan wijdan.  Berdasarkan hal ini maka taqdis (mensucikan sesua­tu), harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang diser­tai perasaan wijdan.  Sebab taqdis adalah hasil manifestasi dari gharizah tadayyun. Bentuk manifestasi ini tidak boleh ada tanpa melalui proses berpikir, karena dapat menjerumus­kan manusia kejurang kesesatan dan kesalahan. Manusia, wajib memenuhi gharizah tadayyun, tetapi setelah melalui proses berpikir, yaitu setelah menggunakan akalnya.  Oleh karena itu, ibadah tidak boleh dikerjakan, kecuali sesuai dengan hasil penunjukan akal, sehingga ibadah itu benar-benar ditujukan kepada Dzat yang secara fithri patut disembah, Dialah Al-khaliq yang mengatur segala sesuatu, yang (Dzat­Nya) senantiasa dibutuhkan manusia.
            Akal manusia memastikan bahwa ibadah hanya dilaku­kan kepada Al-Khaliq, karena Dialah yang mempunyai sifat azali (tak berawal dan berakhir) dan wajibul wujud (wajib keberadaannya). Manusia tidak boleh melakukan ibadah kepada selain Al-Khaliq.  Dialah yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini, Yang memiliki sifat-sifat sempurna secara mutlaq.  Jika seseorang telah meyakini keberadaanNya, maka ia akan mengharuskan dirinya untuk menyembah dan melakukan ibadah kepadaNya semata.
            Adanya pengakuan bahwa Dia adalah Al-Khaliq, baik secara fithri ataupun aqliy, mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk beribadah kepadaNya. Sebab, ibadah adalah suatu bentuk manifestasi perasaannya terhadap keberadaan Al-Khaliq.  Ibadah merupakan bentuk manifestasi rasa syukur tertinggi yang wajib dilakukan oleh makhluk kepada Dzat yang telah memberinya nikmat penciptaan dan pengadaan.  Fithrah manusia dan akal manusia mengharuskan adanya ibadah. Sedang­kan akal memastikan bahwa yang berhak disembah, disyukuri, dan dipuji adalah Al Khaliq, bukan selainNya (makhluk).         Oleh karena itu kita menyaksikan bahwa orang-orang yang pasrah (menyerahkan diri) hanya kepada wijdan saja sebagai bentuk manisfestasi taqdisnya tanpa menggunakan akalnya, mereka terjerumus dalam kesesatan sehingga menyem­bah banyak sesembahan, disamping pengakuannya terhadap wujud Al-Khaliq yang Wajibul Wujud dan bersifat tunggal (Esa).  Akan tetapi ketika membangkitkan manifestasi gharizah taday­yun, mereka mensucikan yang lain.  Mereka melakukan ibadah kepada Al Khaliq, tetapi juga sekaligus kepada makhluk-makhlukNya baik dengan anggapan sebagai Tuhan yang layak disembah atau menyangka bahwa Al Khaliq menitis pada suatu benda, ataupun menganggap Al Khaliq akan ridla apabila dilakukan taqarrub kepadaNya melalui penyembahan kepada benda-benda tersebut.
            Fithrah manusia telah memastikan adanya Al-Khaliq. Tetapi manisfestasi taqdis yang harus dilakukan tatkala muncul sesuatu yang menggerakkan rasa keberagamaannya akan menyebabkan taqdis terhadap apa saja yang dianggapnya layak untuk disembah.  Mungkin sesuatu itu dianggap sebagai Al-Khaliq, atau yang disangkanya sebagai Al-Khaliq akan ridla dengan tindakannya itu, atau dianggap Al-Khaliq menitis/men­jelma pada benda yang ia sembah, disamping Al Khaliq Yang Maha Esa.
            Oleh karena itu, adanya persangkaan banyaknya tuhan yang disembah dialihkan kepada dzat yang disembah, bukan terhadap ada atau tidaknya Al-Khaliq.  Maka penolakan terhadap adanya banyak tuhan yang disembah harus dijadikan sebagai penolakan dzat yang disembah (selain Allah), mengha­ruskan dan menjadikan ibadah semata-mata kepada al-Khaliq yang azali dan wajibul wujud.
            Berdasarkan hal ini Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh manusia. Islam menyatakan bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah SWT.  Islam telah menjelaskan secara rinci tentang semua itu melalui dorongan aqal secara jelas. Islam melon­tarkan pertanyaan tentang sesuatu yang wajib disembah. Merekapun menjawab, bahwa Dia adalah Allah. Mereka sendiri yang menetapkan buktinya. Allah SWT berfirman:

            "Katakanlah,  kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menja­wab: 'Kepunyaan Allah'. maka apakah kamu tidak ingat ? Katakanlah: "Siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung?'. Mereka akan menjawab; 'Kepunyaan Allah'. Katakanlah:'Maka apakah kamu tidak ber­taqwa?'Katakanlah :'Siapakah yang ditanga-nNya berada kekua­saan atas segala sesuatu sedang dia melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?'Mereka akan menjawab: 'kepunyaan Allah'.  Maka dari jalan manakah kamu ditipu? Sebenarnya kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.  Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan lain besertaNya. Kalau ada tuhan lain besertaNya masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya,dan sebagian tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lainnya."
(QS Al Mu'minuun: 84-91)

            Dengan pengakuan bahwasanya Allah pencipta segala sesuatu, ditangan-Nyalah terletak kekuasaan atas segala sesuatu maka mereka pun telah mengharuskan diri mereka sendiri untuk beribadah kepada Allah semata. Sebab sesuai dengan pengakuan mereka ini, hanya Dialah (Allah) yang berhak disembah. Dalam banyak ayat lainnya dijelaskan, bahwa selain Allah, tidak dapat berbuat apapun yang dapat menjadi­kannya layak disembah sebagaimana ayat-ayat yang dibawah ini:


            "Katakanlah, tunjukkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta menutup mata hatimu. Siapakah tuhan selain Allah yang mampu mengembalikan kepada­mu?" (QS Al An'aam: 46)

"Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah?" (QS Ath-Thuur: 43)

            "(Dan) Tuhanmu adalah yang Maha Esa.  Tidak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS Al Baqarah: 163)

            "Tidak ada Tuhan selain Dia (Allah)." (QS Al-Baqarah: 255).

            "(Dan) sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan" (QS Shaad: 65)

            "Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa (Allah)" (QS Al Maidah: 73)

Semua ayat di atas menunjukkan tidak ada yang berhak disem­bah, kecuali Dzat yang wajibul wujud. Dialah Allah yang Maha Esa.
            Islam datang dengan ajaran "Tauhidul ibadah" terhadap Dzat yang wajibul wujud, yang secara aqliyah maupun fitri, telah ditetapkan keberadaanNya.  Banyak ayat-ayat Al Qur'an memberi petunjuk yang gamblang, yang menolak adanya banyak sesembahan .
            "Ilaah", menurut arti bahasa, tidak memiliki arti lain, kecuali "Yang disembah" (Al Ma'buud).  Dan secara syar'i tidak ditemukan adanya arti lain, selain arti itu.  Maka arti "laa ilaaha", baik secara lughawi atau syar'iy, adalah "laa ma'buuda".  Dan "illallah", secara lughawi ataupun syar'iy, artinya adalah Dzat yang wajibul wujud, yaitu Allah SWT.
            Berdasarkan hal ini, makna dari syahadat pertama dalam Islam, bukanlah kesaksian atas ke-Esaan Al-Khaliq semata, sebagaimana anggapan kebanyakan orang.  Tetapi arti yang dimaksud dalam syahadat tersebut adalah adanya kesak­sian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, yang memiliki sifat wajibul wujud, sehingga peribada­han dan taqdis semata-mata hanya untukNya.  Dan secara pasti menolak serta menyingkirkan segala bentuk ibadah kepada selain Allah SWT.
            Jadi, pengakuan terhadap adanya Allah, tidaklah cukup sekedar pengakuan tentang ke-Esaan Al-Khaliq, tetapi harus disertai adanya pengakuan terhadap ke-Esaan.  Sebab, arti  "laa ilaaha illallah" adalah "laa ma'buuda illallaahu".  Oleh karena itu, syahadat seorang muslim, yaitu bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah, dan membatasi ibadahnya semata-mata kepada Allah saja,  sehingga arti tauhid di sini adalah "Tauhidut taqdis" terhadap Al-Khaliq, yakni "Tauhidul ibadah" kepada Allah Yang Maha Esa.


Al QADRIYATU  AL GHAIBIYAH

            Al Qadriyatul Ghaibiyah adalah sikap berserah diri kepada qadar dan mengembalikan segala sesuatu yang dihadapi manusia dalam kehidu­pan ini kepada ketentuan yang bersifat ghaib, dan bahwasanya perbuatan manusia itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.  Perbuatan manusia tidak lain adalah musayyar, diarahkan oleh kekuatan ghaib, tanpa dapat memilih bagaikan bulu yang diterbangkan oleh angin ke arah manapun.
            Ide tersebut di atas telah menyebar dan merasuk ke dalam pemba­hasan aqidah, semenjak akhir masa  Khilafah Abbasiyyah dan berlanjut terus hingga sekarang.  Kewajiban beriman kepada qadla dan qadar telah dijadikan sebagai sarana memasukkan ide ini ke tengah-tengah kaum muslimin.  Akibatnya, muncullah orang-orang yang gagal usahanya dengan menyandarkan diri kepada ide tersebut, sekaligus menjadikannya sebagai alasan kegagalan mereka.  Begitu pula orang-orang yang malas dan bodoh, telah menyandarkan diri kepada ide tersebut, sekaligus menjad­ikannya sebagai dalih kemalasan dan kebodohan mereka, sehingga banyak orang yang bersikap pasrah terhadap kezhaliman yang menimpa mereka, kemiskinan yang mencabik-cabik kehidupan mereka, kehinaan yang melanda mereka dan kemaksiatan yang mendominasi perbuatan mereka.  Sikap ini disebabkan merasuknya ide tersebut yang dijadikan sebagai aqidah, dimana mereka menganggap bahwa tindakan ini merupakan penyerahan diri kepada qadla dan qadar yang berasal dari Allah.
            Ide ini masih terus mendominasi pemikiran dan tingkah laku kaum muslimin.  Padahal apabila masalah ini diamati, akan diketahui bahwa ide qadriyatul ghaibiyah tidak pernah muncul pada masa shahabat, bahkan tidak pernah terfikirkan sama sekali.  Seandainya para shahabat mengikuti ide ini, tentulah mereka tidak pernah mengembangkan Islam dan menak­lukkan negeri/daerah baru, dan tidak akan mempersulit diri serta membi­arkannya diarahkan kemana saja.  Merekapun akan berkata sebagaimana apa yang dikatakan orang-orang sesudahnya, "Apa yang telah ditaqdirkan pasti akan terjadi baik anda berbuat maupun tidak".  Namun demikian, kaum muslimin yang bijaksana dari kalangan shahabat saat itu, telah menyadari bahwa suatu benteng tidak akan bisa ditaklukkan tanpa adanya pedang (perang); musuh hanya akan dapat dikalahkan dengan kekuatan; rizki akan diperoleh dengan suatu usaha; penyakit harus dihindari; pemi­num khamr (yang muslim) wajib didera; pencuri harus dipotong tangan­nya; penguasa harus dimintai tanggung jawabnya dan manuver-manuver politik harus direkayasa dan dilakukan terhadap musuh.  Tidak mungkin mereka meyakini selain itu, sedangkan mereka telah melihat langsung pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah saw telah dikalah­kan pada perang Uhud, akibat detasemen panah menyalahi perintah pimpi­nan (komando Rasul) serta menyaksikan pula kemenangan pada perang Hunain, setelah mereka kalah sebab pasukan yang lari dari medan perang karena takut dari serangan panah telah kembali bertempur, ketika dipang­gil oleh Rasulullah, yang saat itu tetap teguh dalam medan peperangan bersama beberapa gelintir orang, di hadapan tentara-tentara yang melari­kan diri.
            Sesungguhnya Allah SWT telah mengajarkan kepada kita untuk selalu mengikatkan setiap sebab dengan musababnya, serta menjadikan sebab menghasilkan musabab (akibat), seperti misalnya api mempunyai sifat membakar sehingga tidak terjadi pembakaran tanpa sebab api, begitu pula dengan pisau yang digunakan untuk memotong, tentu tidak akan terjadi pemotongan tanpa adanya pisau.  Allah SWT telah menciptakan manusia, lalu dalam dirinya dijadikan kemampuan untuk melakukan sesua­tu.  Begitu pula Allah SWT telah memberikan ikhtiar kepada manusia untuk memilih jalan yang dikehendaki.  Dia bisa makan ataupun berjalan kapan saja ia kehendaki.  Ia belajar lalu mengerti, ia membunuh lalu dikenakan hukuman (qishash), ia meninggalkan jihad sehingga menjadi hina dan ia meninggalkan usaha mencari nafkah lalu jadilah ia miskin.  Oleh karena itu tidak ada Qadriyah ghaibiyah, baik dalam realita kehidu­pan ini ataupun dalam syari'at Allah (Islam).
            Adapun masalah  qadla dan qadar sama sekali tidak ada kaitannya dengan ide qadriyatul ghaibiyah di atas, sebab yang dimaksudkan dengan qadla adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan atau menimpa manusia secara terpaksa.  Misalnya manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kekuasaan atas denyut jantung, atau petir yang menyambar di langit, gempa bumi yang menggoncang sehingga menimbulkan malapetaka bagi manusia, atau jatuhnya seseorang dari atas genteng atau rumah kemudian menimpa orang lain sehingga mati.  Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam pengertian qadla.  Oleh karena itu manusia tidak akan dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian tersebut di atas, dan hal itu tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia yang bersifat ikhtiariyah (atas kehendaknya sendiri). 
            Sedangkan qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan terjadinya sesuatu.  Misalnya kemampuan membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau, naluri mempertahankan jenis yang diperuntukkan bagi manusia dan sebagainya.
            Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya si pelaku yang menggu­nakan khasiyat-khasiyat benda tersebut.  Sehingga bila ia melakukan sesua­tu atas kehendaknya sendiri maka yang bertindak sebagai pelaku adalah manusia itu sendiri, bukan qadar yang terdapat pada sesuatu yang diman­faatkannya.  Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka dialah yang dikatakan sebagai pembakar, jadi pelakunya bukan api yang mempunyai khasiyat membakar.  Maka manusia akan dimintai tang­gung jawab atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang telah memanfaatkan qadar/khasiyat, lalu mengerjakan sesuatu menurut kehen­daknya sendiri.  Qadar tak mampu melakukan perbuatan tanpa adanya seorang pelaku, begitu pula qadla, tak ada kaitannya dengan perbuatan manusia yang sifatnya ikhtiariah.  Jadi keduanya tidak ada hubungan dengan perbuatan manusia yang bersifat ikhtiariah.  Begitu pula tidak ada kaitannya dengan nidzamul wujud (hukum alam) dari segi penguasaannya terhadap manusia, melainkan keduanya termasuk dalam sistem alam ini yang berjalan sesuai dengan peraturan yang telah diciptakan oleh Allah SWT bagi alam semesta, manusia dan kehidupan.
            Dengan demikian berarti manusia mampu memberikan pengaruh dalam usaha mencari nafkah hidup atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu pula meluruskan penguasa yang zhalim atau memberhentikannya. Dia juga mampu mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan yang ikhtiariyah.
            Oleh karena itu Ide Al Qadriyah al Ghaibiyah tidak lain merupa­kan salah satu bentuk khurafat dan khayalan/imajinasi belaka.


RIZKI SEMATA-MATA DARI SISI ALLAH

            Rizki tidak identik dengan pemilikan, sebab rizki adalah pemberi­an.  Dalam bahasa Arab Razaqa berarti A'tha, yaitu memberikan sesuatu.  Sedangkan yang dinamakan pemilikan adalah penguasaan terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh harta yang diperbolehkan syara'.  Rizki dapat berupa rizki halal ataupun haram; tetapi kedua duanya dinamakan rizki juga.  Misalnya, harta yang diperoleh seorang pekerja sebagai upah kerjanya.  Begitu pula harta yang diperoleh seorang penjudi dari perjudian yang dilakukannya.  Semuanya adalah harta yang diberikan Allah SWT kepada kedua orang itu, tatkala mereka memeras tenaganya dalam mengusahakan suatu pekerjaan yang biasanya dapat mendatangkan rizki.
            Banyak orang yang menyangka bahwa mereka sendirilah yang memberikan rizki untuk dirinya.  Sebagai contoh seorang pegawai yang menerima gaji tertentu karena telah menguras tenaganya, menyangka bahwa dialah yang mendatangkan rizki kepada dirinya sendiri.  Dan tatkala orang itu mendapatkan kenaikan gaji karena bekerja lebih keras atau karena memang berusaha memperoleh kenaikan gaji, dia pun menyangka bahwa dirinyalah yang mendatangkan rizki itu (berupa kenaikan gaji).  Seorang pedagang yang memperoleh keuntungan dari usahanya menyangka pula bahwa dialah yang mendatangkan rizki bagi dirinya sendiri.  Demiki­an juga dengan seorang dokter yang mengobati pasien lalu menerima upah, menyangka bahwa ia memberikan rizki kepada dirinya sendiri, dan lain sebagainya.  Banyak orang menyangka demikian karena mereka belum memahami hakekat "keadaan" (usaha) yang dapat mendatangkan padanya rizki.  Sehingga mereka menyangka usahanya itu sebagai sebab (datangnya rizki). 
            Seorang muslim meyakini dengan pasti bahwasanya rizki itu berasal dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia.  Dan bahwasa­nya setiap keadaan (usaha) yang biasanya mendatangkan rizki tidak lain adalah kondisi tertentu yang berpeluang menghasilkan rizki.  Tetapi ia bukan merupakan sebab datangnya rizki.  Apabila usaha dianggap sebagai sebab,  maka setiap usaha pasti akan menghasilkan rizki. Padahal kenya­taannya tidak demikian. Kadang-kadang "keadaan"  (usaha) itu ada diupa­yakan, tetapi rizki tidak datang.  Ini menunjukkan bahwa usaha bukan merupakan sebab, melainkan hanya berupa "cara/usaha" untuk mempero­leh rizki.
            Disamping itu tidak mungkin kita menganggap bahwa "keadaan/ usaha" yang biasanya dapat mendatangkan rizki, adalah sebab untuk mendatang rizki.  Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa orang yang mengupayakan suatu usaha, dialah yang mendatangkan rizki pada dirinya sendiri melalui usaha tersebut, sebab pengertian ini bertentangan dengan nash-nash Al Quir'an yang qath'i, baik ditinjau dari dalalahnya (penunju­kannya maknanya) dan tsubutnya (sumbernya).  Dan apabila setiap sesuatu (pengertian) bertentangan dengan nash yang qath'i, baik dalalahnya maupun sumbernya maka harus dipilih nash yang qath'i, kemudian  mengambilnya dan menolak selainnya.  Banyak ayat-ayat Al Qur'an yang menunjukkan dengan keterangan yang jelas dan gamblang serta tidak dapat menerima ta'wil lain bahwasanya rizki adalah semata-mata dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia.
            Semua yang dijelaskan tadi memberi kepastian kepada kita bahwa­sanya apa yang kita saksikan berupa sarana atau cara yang dapat menda­tangkan rizki, maka hal itu semata-mata adalah berupa "cara (usaha/kea­daan)" yang dapat mendatangkan rizki.  Allah SWT berfirman:


            "(Dan) makanlah dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu"
(QS Al Maidah: 88).




            "Allahlah yang menciptakan kamu, kemudan memberikan rizki"
(QS Ar Ruum: 40).


            "Nafkahkanlah sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu"
(QS Yaasiin: 47).



            "Sesungguhnya Allah memberikan rizki kepada siapa yang dike­hendakiNya" (QS Ali Imran: 37).



            "Allahlah yang memberi rizki kepadanya dan kepadamu"
(QS  Al Ankabuut: 60).




            "Kamilah yang memberi rizki kepadamu"  (QS At Thaha: 132)




            "Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka"
(QS Al An'aam: 151).




            "Kamilah yang akan memberi rizki pada mereka dan kepadamu"
(QS Al Israa': 31).



            "Benar-benar Allah akan memberi rizki kepada mereka"
(QS Al Hajj: 58)



            "Allah meluaskan rizki kepada siapa yang dikehendakiNya"
(QS Ar Ra'ad: 26)



            "Maka mintalah rizki itu dari sisi Allah"  (QS Al Ankabuut: 17)




            "(Dan) tidak ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rizkinya"  (QS Huud: 6)



            "Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rizki"
                                                                        (QS Ad Dzariyat: 58)

            Ayat-ayat tersebut diatas begitu pula ayat-ayat lain yang amat banyak jumlahnya penunjukan maknanya bersifat qath'i, tidak terkandung di dalamnya kecuali makna yang satu dan tidak mempunyai ta'wil yang lain,  bahwasanya rizki semata-mata berasal dari sisi Allah bukan dari yang lain. 
            Meskipun demikian Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk berupaya melakukan berbagai macam pekerjaan setelah diberikan (oleh Allah) pada diri mereka kesanggupan untuk memilih dan melaksanakan cara/usaha yang biasanya mendatangkan rizki.  Merekalah yang harus mengusahakan segala bentuk cara/usaha yang dapat menghasil­kan rizki dengan ikhtiar mereka, akan tetapi bukan mereka yang menda­tangkan rizki, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat diatas.  Bahkan hanya Allahlah yang memberikan rizki kepada mereka dalam berbagai keadaan/cara, tanpa memandang apakah rizki itu halal ataukah haram, dan tanpa melihat apakah cara/usaha itu termasuk suatu hal yang dibolehkan, diharamkan atau diwajibkan oleh Allah.  Begitu juga tanpa memandang apakah dengan usaha/cara itu dapat menghasilkan rizki atau tidak.
            Walaupun begitu Islam telah menjelaskan tata cara mana bagi seorang muslim diperbolehkan dan mana yang dilarang mengusahakan usaha/cara yang dapat mendatangkan rizki.  Dalam hal ini Islam menjelas­kan sebab-sebab pemilikan, bukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki, dan membatasi pemilikan dengan sebab-sebab yang telah ditentukan.  Tidak boleh seorangpun berhak memiliki suatu rizki kecuali dengan sebab-sebab yang telah ditentukan oleh syara', karena hal itu merupakan rizki yang halal.  Selain itu ada rizki yang haram, walaupun semuanya (baik rizki yang halal maupun yang haram) berasal dari sisi Allah SWT.




TIADA KEMATIAN TANPA DATANGNYA AJAL    

            Banyak orang yang menyangka bahwa penyebab kematian itu bermacam-macam. Kadang-kadang suatu kematian didahului oleh suatu penyakit yang mematikan seperti AIDS, leuchemia, penyakit sampar atau karena tertusuk pisau, tertembak, terbakar api, terpenggal kepalanya, serangan jantung (stroke) dan sebagainya.  Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah sebab-sebab yang secara langsung menyebabkan datang­nya kematian.  Artinya, kematian itu datang karena sebab-sebab tersebut.  Berdasarkan kenyataan seperti itu terkenal di kalangan mereka sebuah pepatah: "Banyak sebab untuk mati tapi hasilnya satu, yaitu mati".
            Pada hakekatnya kematian dan sebab kematian adalah satu, yaitu sampainya ajal, tidak ada sebab yang lainnya.  Bebagai contoh di atas yang seringkali terjadi dan dapat menghantarkan kepada kematian hanya meru­pakan suatu kondisi yang menghantarkan kepada kematian, dan bukan sebab-sebab kematian itu sendiri.
            Sebagaimana diketahui, suatu sebab akan menghasilkan musabab atau akibat secara pasti; dan satu musabab tidak akan terjadi melainkan dengan hanya satu sebab bagi musabab sendiri.  Berlainan dengan kea­daan/kondisi, ia merupakan suatu kondisi yang berkaitan dengan hal ikhwal tertentu (pembunuhan, hukuman mati, penyakit yang mematikan dan sebagainya) yang dapat menghasilkan sesuatu berdasarkan kebiasaan.  Tetapi keadaan/kondisi kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan atau bahkan tidak menghasilkan sesuatu apapun.  Kadang-kadang ditemukan adanya keadaan (yang mematikan) tetapi kema­tian tidak terjadi, dan terkadang ditemukan kematian tanpa didahului oleh suatu keadaanpun.
            Memang banyak hal/kasus yang dapat menghantarkan kepada kematian. Tetapi hubungan keduanya itu tidak bisa dijadikan sebagai postulat kausalitas, karena  kadang-kadang 'kasus/peristiwa' berbahaya itu terjadi tetapi tidak mengakibatkan kematian. Dan sebaliknya,  kematian bisa datang tanpa didahului oleh suatu peristiwa/kasus semacam itu.  Sebagai contoh orang yang tertusuk pisau dan menderita luka parah se­hingga --menurut analisa medis--  seharusnya ia mati, tetapi ternyata ia tidak mati, bahkan kemudian sembuh dan sehat wal afiat.  Begitu juga kadang-kadang terjadi kematian tanpa sebab yang jelas, yaitu di luar perhi­tungan medis, seperti serangan jantung yang membawa kematian seseorang secara mendadak.
            Kejadian-kejadian di atas tadi banyak ditemui dan diketahui oleh para dokter, ribuan kasus yang diterima oleh rumah sakit-rumah sakit, suatu sebab yang biasanya secara pasti dan lazim dapat menghantarkan kematian pada seseorang ternyata orang tersebut tidak mati, sebaliknya malah kematian itu bisa datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebab-sebabnya.  Berdasarkan hal ini para dokter umumnya menggambarkan keadaan pasien yang "hidup segan mati tak mau" sebagai: seseorang (yang menderita penyakit mematikan) yang menurut ilmu kedokteran tidak memiliki harapan (hidup) lagi tetapi memiliki kemungkinan sembuh, namun hal ini berada di luar pengetahuan kita.  Begitu pula pendapat mereka terhadap seseorang yang keadaannya tidak membahayakan atau dalam keadaan sehat, namun secara tiba-tiba keadaannya bertambah parah.
            Semua itu adalah fakta kehidupan yang telah disaksikan oleh manusia maupun ahli-ahli kedokteran dengan mata kepalanya sendiri.  Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa sesuatu peristiwa yang dapat menga­kibatkan kematian bukan merupakan sebab kematian.  Andaikan hal itu dianggap sebagai sebab, tentu akan menghasilkan kematian secara pasti.  Dan kematian tidak dapat terjadi dengan kasus yang lain, oleh karena tidak dapat menghasilkan kematian secara pasti, meskipun dalam satu kasus saja dan kematian bisa datang karena berbagai macam cara, walaupun dalam satu kasus/peristiwa saja, maka hal ini menunjukkan secara pasti bahwa hal itu bukan sebab melainkan "kondisi" saja.  Sedangkan sebab kematian yang sebenarnya yang menghasilkan musabab adalah sesuatu hal yang lain bukan seperti yang dijelaskan dalam "kasus/kondisi" diatas.  Adapun sebab kematian yang sebenarnya, hal itu berada di luar kemampuan akal untuk mengetahuinya karena berada di luar jangkauan indera manusia.  Maka manusia harus mencari petunjuk dari Allah SWT tentang masalah ini.  Hendaknya hal ini dapat dibuktikan dengan dalil yang qath'i baik dalalah­nya maupun sumbernya.  Allah SWT melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an telah memberitakan kepada kita bahwa sebab dari kematian adalah sampainya ajal, dan bahwasanya (Dzat) yang mematikan adalah Allah SWT.  Kematian hanya datang karena ajal dan hanya Allahlah yang mematikan.  Sebagaimana firman Allah:


            "Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin  Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya" (QS Al Imron: 145).


            "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa   (orang) yang belum mati ketika tidurnya maka Dia tahanlah jiwa  (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan  jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.  Sesungguhnya pada  yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum  yang berfikir"
(QS. Az Zumar: 42)


            "... Tuhanku ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan"
(QS Al Baqarah: 258).

            "Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,  kendatipun kamu berada di dalam benteng yang kokoh"
(QS An Nisaa': 78)  

            "Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripada­nya,  maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu"
(QS Al Jumuah: 8).

            "Maka jika telah datang batas waktunya (ajal), mereka tak dapat  mengundurkannya barang sedetikpun dan tidak dapat memajukannya"
(QS Al A'raf: 34)

            Semua ayat-ayat tersebut di atas dan banyak lagi ayat lainnya adalah qath'i tsubut yaitu bersumber pasti dari Allah dan qath'i dilalah yaitu bahwasanya Allahlah yang mematikan (makhluq).  Dan sesungguh­nya sebab datangnya kematian adalah sampainya ajal bukan berupa "keadaan/kondisi" yang dapat menghantarkan pada kematian.
            Oleh karena itu, seorang muslim wajib beriman berdasarkan akal dan syara' bahwa apa yang disangkanya sebagai sebab kematian hanya merupakan "keadaan" bukan berupa sebab, dan bahwa sebab itu suatu hal yang berbeda.  Juga syara' telah menetapkan melalui dalil yang qath'i bahwasanya kematian itu berada di tangan Allah.  Dan Allah SWT adalah Dzat yang berhak mematikan dan sebab kematian adalah datangnya ajal.  Apabila ajal datang, maka kematian tidak dapat diundurkan ataupun dima­jukan walaupun sedetik, dan manusia tidak akan mampu menghindarinya atau lari dari kematian secara mutlak.  Dan mati pasti akan menjemputnya.
            Adapun yang diperintahkan kepada manusia adalah agar bersikap waspada dan menjauhkan dirinya dari "keadaan/kondisi" yang biasanya dapat menghantarkan pada kematian, yaitu dengan cara menjauhkan/ menghindari dari suatu keadaan/kondisi yang biasanya mengakibatkan kematian.  Adapun mati maka manusia tidak perlu takut atau lari dari kematian.  Sebab tidak mungkin ia mampu menghindarinya secara mutlak.
            Manusia tidak akan mati kecuali jika telah sampai padanya ajal.  Tak ada bedanya apakah ia mati biasa, terbunuh, terbakar, atau yang lainnya.  Yang jelas, kematian dan ajal berada di tangan Allah SWT.


KEMA'SHUMAN  RASUL

            Kema'shuman para Nabi dan Rasul ditetapkan kepastiannya berda­sarkan akal. Sebab keberadaannya sebagai Nabi atau Rasul telah memasti­kan bahwa dia ma'shum dalam hal penyampaian risalah (tabligh) yang datang dari Allah.  Apabila terjadi suatu cacat yang memungkinkan hi­langnya sifat kema'shuman, meskipun dalam satu masalah saja, berarti ada kemungkinan terjadinya cacat pada  seluruh masalah.  Jika itu terjadi, maka akan rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara keseluruhan.  Kepastian bahwa seseorang adalah nabi atau rasul yang diutus Allah, berarti pula bahwa ia bersifat ma'shum dalam masalah penyampaian risa­lah yang datang dari Allah.
            Kema'shuman dalam hal tabligh bersifat pasti, sehingga ingkar/ kufur terhadap sifat ini berarti kufur terhadap risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut, atau kufur terhadap kenabiannya yang telah ditetapkan oleh Allah.  Adapun kema'shuman dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan perintah dan larangan Allah, maka yang menjadi suatu kepastian bahwa Rasul/Nabi ma'shum dalam perbuatan yang termasuk kategori dosa-dosa besar (Al kabaair) sehingga seorang Nabi atau Rasul tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang termasuk dosa besar secara mutlak.  Sebab, mengerjakan suatu dosa besar berarti telah terjerumus dalam "kemaksiatan".  Padahal ketaatan itu tidak dapat dipisah (harus utuh), begitu juga kemaksiatan tidak bersifat parsial.  Jika kemaksiatan telah mewarnai suatu perbuatan, maka ia akan merambat pada masalah tabligh (penyampaian risalah).  Hal ini jelas bertentangan dengan (hakekat) risalah dan kenabian.  Oleh karena itu para Nabi dan Rasul bersifat ma'­shum terhadap dosa-dosa besar, sebagaimana ma'shumnya mereka dalam penyampaian risalah (tabligh).
            Adapun terhadap dosa-dosa kecil (Ash shaghaair) para ulama berbeda pendapat, apakah para Nabi dan Rasul ma'shum dari perbuatan dosa-dosa kecil.  Sebagian mengatakan para Nabi/Rasul tidak ma'shum dari mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu tidak termasuk kategori "maksiyat".  Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, para Nabi/Rasul ma'shum dari mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu sudah termasuk kategori "maksiyat".
            Yang benar adalah bahwa semua yang haram untuk dikerjakan dan yang wajib dilakukan, yaitu berupa seluruh jenis fardlu dan seluruh bentuk yang haram, maka dalam hal ini para Nabi dan Rasul bersifat ma'shum.  Dengan demikian mereka ma'shum dari mengerjakan sesuatu yang diha­ramkan atau meninggalkan suatu kewajiban.  Baik hal itu termasuk dosa-dosa besar atau dosa-dosa kecil.  Ini berarti mereka ma'shum dari menger­jakan setiap sesuatu yang termasuk perbuatan ma'siyat.
            Selain itu dalam tindakan yang termasuk khilaful aula (tidak mengerjakan yang terbaik/paling layak), maka mereka tidaklah ma'shum.  Dibolehkan mereka mengerjakan tindakan khilaful aula secara mutlaq.  Sebab, ditinjau dari berbagai sudut manapun, hal itu tidak termasuk dalam jenis maksiyat. 
            Demikianlah, dapat dipastikan secara aqliy, adanya sifat ma'shum pada Nabi dan Rasul yang ditentukan oleh keberadaan mereka sebagai Nabi dan Rasul.