Fikrul Islam
1. Muqaddimah
1
2. Islam Satu Metode Kehidupan yang unik 3
3. Islam adalah Mafahim bagi Kehidupan, bukan
sekedar Maklumat 6
4. Mafahim Islam adalah Patokan-patokan
Tingkah Laku Manusia
dalam Kehidupan 9
5. Syakhshiyah 13
6. Syakhshiyah Islamiyah 18
7. Allah adalah Dzat yang Hakiki, bukan
sekedar Khayalan dalam
Otak 22
8. Makna Laa
Ilaaha Illallah 26
9. Al Qadriyatu al Ghaibiyah 32
10. Rizki Semata-mata dari
Sisi Allah 35
11. Tiada Kematian tanpa
Datangnya Ajal 39
12. Kema'shuman Rasul saw 43
13. Rasulullah saw bukan
mujtahid 49
14. Ukuran Perbuatan 57
15. Iman terhadap Islam
mengharuskan terikat dengan Hukum Syara' 59
16. Asal Suatu Perbuatan
terikat dengan hukum Syara', bukan mubah atau haram 62
17. Ibahah adalah hukum asal
bagi segala sesuatu/benda yang dimanfaatkan 67
18. Hukum Syara' pasti
mengandung maslahat 74
19. Hukum tidak berubah
disebabkan perubahan waktu dan tempat 77
20. Pendapat seorang Mujtahid
adalah hukum syar'i 79
21. Macam-macam Hukum Syara'
82
22. Seruan dan Bentuk Kalimat
Perintah 88
23. Fardlu Kifayah merupakan
Kewajiban atas setiap Muslim 90
24. Penentuan Hukum-hukum
Ibadah semata-mata dari sisi Allah 92
25. Kekuatan Rohani memiliki
Pengaruh paling Besar 95
26. Jihad diwajibkan atas
segenap kaum Muslimin 99
27. Kedudukan Do'a di dalam
Islam 104
28. Hukum Pidana, Sanksi, dan
Pelanggaran di dalam Islam 109
29. Naluri Beragama 115
30. Pengertian Taqdis 118
31. Rasa Takut 122
32. Pemikiran Dan Kesadaran
126
33. Proses Pemikiran 130
34. Peran Instink dalam identifikasi
134
35. Realita dan Persepsi
mempengaruhi Naluri Manusia 138
36. Pola Pikir Dains dan Pol
Pikir Rasional 142
37. Psikologi, Sosiologi dan
Ilmu Pendidikan 148
35. M a b d a ` 155
39. Kesadaran Politik 158
40. Gaya Pengungkapan yang
Bercirikan Pemikiran dan sastra 165
MUQADDIMAH
Membina diri dengan mendalami Tsaqafah Islamiyah adalah kewajiban atas kaum muslimin, baik
mendalami nash-nash syar'iy, atau sarana-sarana yang memungkinkannya untuk
mendalami dan menerapkan nash-nash tersebut. Tiada beda apakah mendalami
tsaqafah yang berkenaan dengan hukum-hukum syara', atau yang berhubungan dengan
pemikiran-pemikiran Islam.
Hanya saja, satu hal yang sangat menyakitkan umat ini
adalah semenjak Barat memaklumkan perang terhadap negeri-negeri Islam,
sekaligus memerangi kebudayaan dan peradabannya. Barat kemudian membentangkan
hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan kekuasaan mereka di negeri-negeri Islam.
Sehingga akhirnya kaum Muslimin berpaling dari Tsaqafah Islam, menyusul
peristiwa pendegradasian kekuasaan Islam dan ketergelinciran kaum muslimin dari
selamatnya perasaan akan kemuliaan Islam. Semua itu adalah akibat adanya
propaganda-propaganda yang sesat dan menyesatkan terhadap Islam dan tsaqafahnya
yang disebarkan oleh para penganut kesesatan itu.
Karenanya, kami pandang ada suatu keperluan untuk
menyebarkan sebagian tsaqafah Islamiyah ini, dengan harapan agar kiranya umat
manusia, baik yang Islam maupun yang bukan, akan gandrung dengan apa yang mampu
membenahi akal mereka, memperbaiki perasaan mereka, dan mengobati kemerosotan
berpikir yang merajalela di negeri-negeri mereka.
Kepada Allah jua kami memohon, semoga berkenan memberi
pertolongan kepada kaum muslimin untuk menegakkan apa yang diwajibkan atas
mereka; yakni membina diri dengan tsaqafah Islam, mengemban dakwah Islam, dan
menyebarluaskan tsaqafahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan do'a.
ISLAM SUATU METODE KEHIDUPAN YANG UNIK
Islam
adalah suatu pola hidup yang khas, yang sangat berbeda dengan pola hidup
lainnya. Islam mewajibkan pemeluknya
untuk hidup dalam satu warna kehidupan tertentu dan konstan, yang tidak
berganti dan berubah karena situasi maupun kondisi. Islampun mengharuskan mereka untuk selalu
mengikatkan diri dengan pola kehidupan tersebut dengan membentuk suatu
kepribadian, yang menjadikan jiwa dan pikirannya tidak akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan, kecuali berada
dalam pola kehidupan itu.
Islam datang dengan serangkaian pemahaman tentang
kehidupan yang membentuk pandangan hidup tertentu. Islam hadir dalam bentuk garis-garis hukum
yang global (khuthuuth 'ariidlah),
yakni makna-makna tekstual yang umum, yang mampu memecahkan seluruh
problematika kehidupan manusia. Dengan
demikian akan dapat digali (diistinbath) berbagai cara pemecahan setiap masalah
yang muncul dalam kehidupan manusia.
Islam menjadikan cara-cara pemecahan problema kehidupan tersebut
bersandar pada suatu landasan fikriyah
(dasar pemikiran) yang dapat memancarkan seluruh pemikiran tentang
kehidupan. Kaidah itupun telah
ditetapkan pula sebagai suatu standar pemikiran, yang dibangun di atasnya
setiap pemikiran cabang (setiap pikiran baru yang muncul). Sebagaimana halnya Islam telah menjadikan
hukum-hukum tentang pemecahan problema kehidupan, pemikiran dan ideologi, serta
pandangan-pandangan tentang berbagai pendapat baru sebagai sesuatu yang
terpancar dari Aqidah Islam, yang digali dari garis-garis hukum yang bersifat
global itu.
Islam memberikan batasan-batasan kepada manusia dengan
pemikiran tertentu, tetapi tidak membatasi aktivitas berpikir manusia, bahkan
memberikan kebebasan kepada akal manusia.
Islampun mengikat perilaku manusia dengan pemikiran-pemikiran dan
hukum-hukum tertentu, namun tidak menjeratnya.
Bahkan, Islam telah memberinya keleluasaan.
Oleh karena itu, pandangan seorang muslim terhadap
kehidupan dunia ini adalah suatu pandangan
yang penuh dengan
cita-cita, serius, realistis, dan
proporsional; artinya dunia harus diraih, tetapi bukan menjadi tujuan dan tidak
boleh dijadikan tujuan. Seorang muslim
akan bekerja di penjuru dunia ini, memakan rizqi yang berasal dari Allah,
menikmati perhiasan-perhiasan dan rizqi yang baik (halal), yang telah
dianugerahkan Allah kepada hambaNya, dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini
hanyalah tempat sementara, dan akhiratlah negeri yang kekal dan abadi.
Hukum-hukum Islam telah memberikan cara bagaimana manusia menyelesaikan masalah
perdagangan dengan metodenya yang khas, sebagaimana menerangkan tata cara
shalat. Islam mengatur masalah pernikahan dengan caranya yang unik, sebagaimana
mengatur masalah zakat. Islampun menjelaskan cara-cara pemilikan harta-benda
berikut cara membelanjakannya dengan tata cara yang khas, sebagaimana
menjelaskan masalah-masalah haji. Islam
juga memberikan perincian tentang transaksi dan mu'amalat dengan cara yang
khas, sebagaimana merinci masalah do'a dan ibadah. Islam menjelaskan pula masalah huduud
(seperti had pencurian, zina, peminum khamr, dan lain-lain, pen.) dan jinayat
(hukum pidana), serta sanksi-sanksi hukum lainnya, sebagaimana menjelaskan tentang siksa Jahannam dan kenikmatan Jannah.
Di samping itu, Islampun telah
menunjukkan suatu bentuk pemerintahan dan metode penerapannya, sebagaimana
telah memberikan suatu dorongan internal (berdasarkan rasa taqwa) untuk
menerapkan hukum-hukum Islam dengan tujuan mencari keridlaan Allah SWT. Begitu juga, Islam memberikan petunjuk
bagaimana mengatur hubungan negara dengan
negara, ummat dan bangsa lainnya, sebagaimana memberi petunjuk untuk
mengemban da'wah ke seluruh penjuru dunia.
Syari'at Islam telah mengharuskan kaum muslimin, memiliki sifat-sifat
yang mulia, dan hal itu harus dianggap sebagai hukum-hukum Allah SWT, bukan
karena sifat itu terpuji menurut pandangan manusia.
Demikianlah,
Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan dengan manusia lainnya, sebagaimana
mengatur hubungannya dengan Allah SWT dalam suatu keserasian pemikiran berikut
cara memecahkan masalahnya. Maka jadilah
manusia sebagai mukallaf (yang
dibebani hukum), yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan suatu dorongan
(motivasi), metode, arah, dan tujuan tertentu.
Islam mewajibkan seluruh manusia untuk
menempuh satu-satunya jalan ini dan meninggalkan jalan-jalan yang lain. Islam memberikan ancaman siksa yang amat pedih
di akhirat kelak, sebagaimana memperingatkan datangnya sanksi-sanksi yang berat
di dunia ini. Manusia, pasti akan
merasakan salah satu jenis siksa itu, jika ia menyimpang dari jalan Islam,
walaupun hanya seujung rambut.
Oleh karena itu, seorang muslim akan menjalani kehidupan
ini dengan suatu pemahaman yang khas tentang kehidupan tertentu. Ia hidup dengan suatu corak dan pola
kehidupan yang tertentu pula, sebagai konsekuensi dari pemelukannya terhadap
Aqidah Islam, dan kewajibannya untuk mentaati perintah Allah SWT dan menjauhi
laranganNya, serta kewajibannya untuk tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum
Islam. Jadi memiliki suatu
pemahaman tertentu tentang kehidupan dan
menjalani suatu pola kehidupan tertentu, adalah wajib bagi setiap muslim dan
seluruh kaum muslimin, tanpa ada keraguan sedikitpun.
Sesungguhnya Islam telah menjelaskan semua itu dengan
gamblang dalam Kitab Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, yang tercakup dalam
masalah aqidah dan hukum-hukum syari'atnya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Islam bukan hanya
sekedar agama ritual belaka, bukan pula sekedar ide-ide teologi atau
kepasturan. Akan tetapi Islam adalah
suatu metode kehidupan tertentu, di mana setiap muslim dan seluruh kaum
muslimin wajib menjalani kehidupannya sesuai dengan metode ini.
ISLAM ADALAH MAFAHIM BAGI KEHIDUPAN, BUKAN SEKEDAR MAKLUMAT
Mafahim Islam
bukanlah pemahaman kepasturan, bukan pula informasi-informasi kegaiban tanpa
dasar. Mafahim Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang memiliki
penunjukan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap akal secara langsung, selama
masih berada dalam batas jangkauan akalnya.
Namun bila hal-hal tersebut berada di luar jangkauan akalnya, maka hal
itu akan ditunjukkan secara pasti oleh sesuatu
yang dapat diindera, tanpa rasa keraguan
sedikitpun.
Karena itu, seluruh mafahim Islam berada di bawah
penginderaan secara langsung, atau pada sesuatu
yang dapat diindera secara langsung yang menunjukkan adanya pemahaman itu.
Dengan kata lain, seluruh pemikiran Islam merupakan mafahim. Sebab dapat dijangkau oleh akal, atau
ditunjuk oleh sesuatu yang dapat
dijangkau oleh akal. Tidak ada satu pemikiranpun di dalam Islam yang tidak
memiliki mafhum. Artinya, pemikiran itu memiliki fakta dalam
benak dan dapat dijangkau oleh akal. Atau dapat diterima dengan sikap pasrah
(memuaskan akal dan jiwanya) dan dipercaya secara pasti, bahwa faktanya ada di
dalam benak dan apa yang menunjuknya dapat dijangkau oleh akal.
Dengan
demikian di dalam Islam tidak ditemukan hal-hal ghaib yang tidak masuk akal
sama sekali (semacam dogma yang dipaksakan, pen.). Tetapi masalah-masalah ghaib
yang diharuskan Islam untuk diimani adalah masalah ghaib yang dapat diterima
melalui perantaraan akal, yaitu melalui sumber yang dapat dibuktikan
kebenarannya melalui akal, yang tidak lain adalah Al-Qur'an dan Hadits-hadits mutawatir.
Berdasarkan
hal ini, maka pemikiran-pemikiran Islam bersifat nyata, faktual, dan ada di
dalam kehidupan. Sebab, semua pemikiran-pemikiran ini memiliki fakta di dalam
benak, didasarkan pada proses penginderaan dan bersandarkan pada akal. Karena
itu, sebenarnya akal manusia menjadi asas bangunan Islam, yakni aqidah dan
syari'at Islam.
Aqidah
dan hukum-hukum Islam merupakan pemikiran yang memiliki fakta dan dapat dijangkau
dengan riil, baik itu berupa hal-hal ghaib ataukah hal-hal nyata, juga keputusan
akal terhadap sesuatu (ide), atau hukum atas sesuatu (pemecahan masalah), atau
berita dari dan
tentang sesuatu. Semuanya ini ada
faktanya dan pasti adanya. Dengan kata
lain, pemikiran-pemikiran Islam,
hukum-hukumnya, hal-hal yang real inderawi, atau hal-hal ghaib, semuanya adalah kenyataan yang memiliki fakta
di dalam benak dan bersandarkan pada akal manusia.
Aqidah Islamiyah adalah keimanan kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya,
Kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, Hari Kiamat, dan Qadla-Qadar. Pembenaran terhadap semua ini dibangun dari
kenyataan yang ada, dan tiap-tiap dari keimanan tersebut memiliki fakta di
dalam benak.
Iman kepada Allah, Al Qur'an, dan kenabian Muhammad saw
dibina di atas penemuan bahwa wujud
(eksistensi) Allah itu azali, tidak
ada awal dan akhir bagiNya. Dan akal
telah menemukan secara inderawi bahwa Al-Qur'an itu Kalamullah berdasarkan kemu'jizatannya bagi manusia yang dapat
diindera di setiap waktu. Akalpun telah
menemukan secara inderawi bahwa Muhammad saw adalah Nabi Allah dan RasulNya
berdasarkan bukti yang nyata bahwa beliau adalah yang membawa Al-Quran sebagai
kalamullah yang membuat manusia tak berdaya untuk membuat yang semisalnya. Maka ketiga hal ini, yaitu wujud (eksistensi)
Allah, Al-Qur'an sebagai Kalamullah, dan Nabi Muhammad sebagai Rasulullah,
dapat ditangkap oleh akal dengan perantaraan indera dan dapat diimani. Dengan demikian tiga hal di atas memiliki
fakta yang dapat diindera dalam benak dan merupakan fakta yang nyata.
Adapun Iman kepada malaikat, kitab-kitab
sebelum Al-Qur'an (seperti Taurat dan Injil), Nabi dan Rasul sebelum Rasulullah
saw (seperti Musa, Isa, Harun, Nuh, Adam as), dibangun berdasarkan khabar dari Al-Qur'an dan Hadits mutawatir.
Kaum muslimin diperintahkan membenarkan adanya semua itu. Dan itu semua
memiliki fakta dalam benak, karena bersandarkan pada sesuatu yang terindera,
yaitu Al Qur'an dan Hadits mutawatir. Berarti seluruhnya merupakan mafahim,
sebab merupakan fakta dari ide-ide (Islam), yang dapat dijangkau dalam
benak.
Sedangkan Iman kepada Qadla dan Qadar, dibangun di atas
akal berdasarkan pengamatan terhadap perbuatan manusia; bahwa perbuatan yang
telah dilakukan oleh manusia atau telah menimpa dirinya (arti Qadla); dan
berdasarkan penangkapan secara aqliy dan inderawi, bahwa khasiat
(karakteristik) yang dimiliki benda bukanlah diciptakan oleh benda itu sendiri
(arti Qadar). Buktinya, suatu pembakaran
tidak akan terjadi kecuali dengan derajat panas atau aturan tertentu (misalnya
pembakaran kayu perlu derajat panas tertentu yang lain dengan pembakaran besi,
pen.). Seandainya khasiyat itu
diciptakan oleh api itu sendiri, maka kebakaran itu dapat terjadi sesuai dengan
kehendaknya, tanpa tergantung pada derajat panas atau aturan tertentu. Dengan
demikian maka jelaslah bahwa khasiat itu diciptakan Allah SWT, bukan ciptaan
yang lainnya. Oleh karena Qadla dan
Qadar dapat ditangkap oleh akal secara langsung dengan perantaraan indera.
Maka, keduanya itu diimani, menjadi fakta dalam benak, dan merupakan fakta yang
terindera. Dengan demikian, keduanya merupakan mafahim, sebab merupakan fakta
dari ide, yang dijangkau dalam benak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aqidah Islam
merupakan mafahim yang pasti adanya dan pasti penunjukannya. Aqidah Islam memiliki fakta dalam benak
seorang muslim yang dapat menginderanya, atau mengindera sesuatu yang dapat menunjukkannya. Dengan demikian Aqidah Islam akan dapat
memberikan pengaruh besar terhadap manusia.
Sedangkan
hukum-hukum syara', kedudukannya adalah sebagai pemecah terhadap kenyataan atau
problematika hidup manusia. Di dalam
menyelesaikan semua problema hidup ini diharuskan terlebih dahulu mengkaji dan
memahami masalah yang dihadapi. Lalu mempelajari hukum-hukum Allah yang
berkaitan dengan problema tersebut, dengan memahami nash-nash syara' yang
berkaitan dengannya. Kemudian pemahaman
tersebut dipertimbangkan untuk mengetahui apakah itu hukum Allah atau bukan.
Jika penerapan itu tepat, menurut pandangan seorang mujtahid, maka pemahaman
itu pun merupakan hukum Allah. Jika tidak tepat, maka dicarilah makna atau nash
lain, hingga ditemukan yang tepat dengan kenyataan itu. Dengan demikian, maka
hukum-hukum Syara' merupakan pemikiran yang memiliki fakta dalam benak
(mafhum), sebab hukum-hukum syara' merupakan pemecahan yang dapat diindera
untuk suatu masalah yang nyata, yang dipahami dari nash-nash yang ada. Maka berdasarkan hal ini hukum-hukum syara'
adalah merupakan mafahim.
Dengan
demikian sesungguhnya aqidah Islam dan hukum-hukum syara' bukanlah pengetahuan
yang semata-mata untuk dihafal, dan bukan pula sekedar pemuas akal. Tetapi, keduanya merupakan mafahim yang
mendorong manusia untuk berbuat, menjadikan perbuatannya selalu terkait,
terikat, dan teratur karenanya. Atas
dasar inilah, maka seluruh ajaran Islam merupakan mafahim yang mengatur
kehidupan manusia, bukan sekedar informasi atau pengetahuan semata.
MAFAHIM ISLAM ADALAH
PATOKAN-PATOKAN TINGKAH LAKU MANUSIA DALAM KEHIDUPAN
Pemikiran-pemikiran Islam adalah berupa mafahim, bukan sekedar ma'lumat yakni informasi-informasi yang
hanya berupa pengetahuan. Arti keberadaannya sebagai mafahim adalah bahwasanya
pemikiran-pemikiran Islam memiliki makna yang menunjukan suatu kenyataan dalam
kehidupan. Pemikiran-pemikiran tersebut bukan sekedar keterangan terhadap
hal-hal yang disangka keberadaannya secara logis. Tetapi yang terjadi adalah
sebaliknya, setiap makna yang ditunjuk olehnya memiliki fakta-fakta yang dapat diindera oleh setiap manusia; baik
itu merupakan mafahim yang membutuhkan pemikiran dan perenungan yang mendalam,
atau berupa mafahim yang dapat dipahami dengan mudah. juga apakah makna itu
merupakan hal-hal yang dapat diindera, yakni yang memiliki fakta inderawi, seperti
ide-ide yang berkaitan dengan pemecahan
problema hidup, pemikiran-pemikiran, dan opini-opini umum, ataukah
merupakan hal-hal ghaib tetapi yang menghkabarkannya kepada kita adalah sesuatu
yang dapat dipastikan keberadaannya oleh akal secara inderawi, seperti adanya
Malaikat, Sorga atau Neraka. Jadi seluruh pemikiran Islam adalah berupa
fakta-fakta riil yang memiliki penunjukan-penunjukan (makna) yang nyata dalam
jangkauan indera atau benak manusia.
Dengan kata lain merupakan fakta yang memiliki penunjukan yang nyata
dalam benak, secara tegas dan pasti.
Hanya saja, penunjukan yang nyata tersebut bukanlah
merupakan pembahasan semisal astronomi, pengetahuan tentang kedokteran, atau
konsep pemikiran yang berkaitan dengan ilmu kimia yang telah disampaikan kepada
kita guna memanfaatkan apa yang ada dalam alam semesta. Tetapi sebaliknya, penunjukan-penunjukan itu
merupakan patokan-patokan tingkah laku manusia dalam kehidupan dunia ini dan
untuk menuju kehidupan akhirat, tak
ada hubungannya dengan selain itu. Patokan-patokan itu datang sebagai petunjuk
dengan membawa rahmat, peringatan dan nasehat.
Juga untuk memecahkan problema hidup yang timbul dari perbuatan manusia
serta menentukan bentuk tingkah lakunya.
Jika
kita menelusuri mafahim ini dalam nash-nash yang menjadi sumber mafahim
tersebut, yakni nash-nash yang menerangkan pemikiran-pemikiran yang
melahirkan mafahim tersebut, maka akan
kita dapati bahwa seluruh nash yang ada, datang dalam bentuk ini (sebagai
patokan tingkah laku manusia) tidak dalam bentuk lain; dan terbatas hanya pada
pembahasan ini. Jadi, nash-nash Al Qur'an dan Sunnah, baik dari segi manthuqnya (apa yang ditunjuk oleh
lafadz), atau dari segi mafhumnya
(apa yang ditunjuk oleh makna lafadz), ataupun dari segi dilalahnya, seluruhnya terbatas dalam satu cakupan, yaitu aqidah
dan hukum-hukum yang terpancar dari aqidah, termasuk pemikiran-pemikiran yang
dibangun di atas aqidah tersebut. Tidak ada pembahasan selain itu.
Oleh
karena itu setiap muslim diwajibkan memahami bahwa nash-nash syari'ah, yaitu Al
Qur'an dan Sunnah, datang untuk diamalkan, dan khusus ditujukan terhadap tingkah laku manusia dalam
kehidupan. Dengan kata lain, setiap muslim wajib menyadari dua hal dalam Islam,
yaitu:
Pertama:
Bahwasanya Islam datang dengan membawa mafahim sebagai
patokan untuk mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan dunia ini, dan menuju
kehidupan akhirat. Kemudian, ia pun mengambil setiap pemikiran Islam sebagai
patokan (peraturan) untuk mengatur tingkah lakunya sesuai dengan peraturan
tersebut. Jadi yang menonjol dalam Islam adalah segi amaliyah (praktis), bukan
segi ta'limiyah (teoritis) semata. Perlu diketahui, jika Islam diambil dari
segi teori semata, tentu akan kehilangan shibghah
(warna) aslinya, yaitu kedudukannya sebagai patokan untuk mengontrol tingkah laku manusia; dan
akhirnya Islam pun hanya akan sekedar menjadi pengetahuan belaka, sebagaimana
ilmu geografi dan sejarah. Dengan demikiaan Islam akan kehilangan daya hidup
(power) yang ada padanya, dan iapun tidak akan menjadi Islam yang murni, tetapi
hanya sekedar pengetahuan Islam, yang dapat ditandingi oleh kaum orientalis
kafir yang tidak mengimani apa yang mereka pelajari dari Islam, dan orang-orang
yang mempelajarinya hanya untuk menghantam Islam dan pemeluknya. Dua orang tersebut akan sama kedudukannya
dengan seorang Muslim yang 'alim, yang beriman pada ajaran Islam, tetapi mensifatinya
sekedar sebagai
pengetahuan atau kepuasan
intelektual, tanpa terlintas dalam hatinya untuk megambil ajaran-ajaran Islam
sebagai patokan bagi tingkah lakunya dalam kehidupan ini.
Oleh karena itu, mengetahui pemikiran-pemikiran Islam dan
hukum syara' tanpa merealisasikannya sebagai patokan tingkah laku manusia dalam
kehidupan ini adalah suatu penyakit yang menjadikan Islam tidak mempunyai
pengaruh terhadap tingkah laku kaum muslimin dewasa ini.
Kedua :
Wajib disadari oleh setiap muslim tentang Diinul Islam,
bahwasanya Al Qur'an dan Sunnah diturunkan tidak lain sebagai Diin dan
Syari'at, bukan sekedar pengetahuan atau ilmu semata. Dan keduanya, tidak ada hubungannya dengan
ilmu pengetahuan manapun, baik itu ilmu sejarah, geografi, ilmu alam, kimia,
atau penciptaan-penciptaan dan penemuan-penemuan ilmiyah.
Ayat-ayat
yang tercantum dalam Al Qur'an tentang bulan, bintang, planet, gunung, sungai,
hewan, burung, dan tumbuh-tumbuhan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah:
"(Dan)
matahari berjalan (berputar pada lingkaran yang ditentukan) sampai ia berakhir
(pada batas tertentu). (QS Yaasin:
38)
"(Api neraka)
yang menembus ke dalam" (QS Al
Humazah: 7)
Begitu juga ayat-ayat lain yang serupa dengan kedua ayat
tersebut, tidak memiliki suatu petunjuk pun terhadap ilmu pengetahuan.
Ayat-ayat itu bermaksud mengajak manusia memperhatikan kekuasaan Allah, menjadi
petunjuk terhadap keagungan Allah, serta memberi petunjuk kepada manusia
tentang hal-hal yang dapat menundukkan akalnya, akan sangat perlunya beriman
kepada Allah SWT.
Jadi ayat-ayat tersebut adalah bukti-bukti kekuasaan
dan keagungan Allah SWT, serta merupakan himbauan kepada akal manusia untuk
melakukan pengamatan, agar ia sadar dan mengambil petuah dari ayat-ayat
tersebut. Ayat-ayat itu bukanlah dimaksudkan untuk sekedar pembahasan di bidang
sains atau ilmu pengetahuan umum.
Jadi,
pemikiran-pemikiran Islam yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah tidaklah
sekedar sebagai pengetahuan atau pembahasan teoritis, tetapi diturunkan untuk
memecahkan problematika kehidupan
manusia; dan merupakan patokan-patokan bagi tingkah laku manusia dalam
kehidupan dunia, serta dalam perjalannya menuju kehidupan akhirat.
SYAKHSHIYAH ( Kepribadian Manusia )
Kepribadian dalam diri setiap orang, terdiri dari pola
pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah). Tidak ada hubungannya dengan
wajah, bentuk tubuh, kerapian busana atau hal-hal lainnya. Sebab, semua itu
hanyalah asesoris semata. Adalah suatu kedangkalan berpikir, bila seseorang
menyangka asesoris semacam ini sebagai
salah satu faktor kepribadian atau berpengaruh terhadap kepribadian. Sebab, manusia dapat dibedakan melalui akal
dan tingkah lakunya, dan inilah yang akan menunjukkan tinggi rendahnya derajat
seseorang. Oleh karena tingkah laku manusia dalam kehidupan ini tergantung pada
mafahimnya. Maka dengan sendirinya tingkah laku manusia
pun terikat erat dan tidak bisa dipisahkan dengan mafahim yang dimilikinya.
Tingkah
laku (suluk) adalah
perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan
kebutuhan jasmaninya. Tingkah laku ini,
berjalan secara pasti sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan (muyul) yang ada pada diri manusia untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh karena
itu, mafahim dan kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia adalah
penyangga bagi syakhshiyahnya.
Sedangkan
apa yang dimaksud dengan 'mafahim',
dari apa sebenarnya mafahim ini tersusun, apa saja yang dapat dihasilkannya,
kemudian apa yang dimaksud dengan kecenderungan (muyul), apa yang
menimbulkannya dan apa saja pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya, maka hal ini
memerlukan penjelasan sebagai berikut:
Mafahim adalah
makna-makna pemikiran, bukan makna-makna lafadz. Sedangkan lafadz adalah
ucapan-ucapan yang menunjukkan
makna-makna tertentu yang mungkin ada dalam kenyataan dan mungkin pula
tidak ada. Seperti perkataan penyair:
"Di antara kaum lelaki, ada seseorang
yang jika diserang
bagaikan piramid besi yang
kokoh,
dan jika dilontarkan
kebenaran (aqidah)
di hadapannya
luluhlah keperkasaannya
hancurlah mereka".
Makna syair diatas dapat ditemukan dalam kenyataan, dan
dapat dijangkau oleh panca indera, walaupun untuk menemukannya diperlukan
kedalaman dan kecemerlangan berpikir.
Namun bila Penyair berdendang:
"Mereka
berkata
Apakah orang itu mampu
Menembuskan tombak
Pada
dua orang serdadu sekaligus
Di hari pertempuran
Dan kemudian
tidak menganggapnya itu
Sebagai hal yang dasyat!
Kujawab mereka
'Andaikan
Panjang tombaknya satu mil,
tentu
akan menembus serdadu yang
berbaris
sepanjang satu mil'"
Maka makna syair ini tidak
terwujud sama sekali dalam kenyataan. Seseorang tidak mampu menembuskan tombak
pada dua orang sekaligus, dan dalam kenyataannya tidak ada seorangpun yang
menanyakan hal itu. Juga tidak mungkin ia menusukkan tombak sepanjang satu mil.
Makna-makna yang terdapat dalam kalimat tersebut di atas menjelaskan dan
menafsirkan lafadz-lafadz syair itu.
Adapun
arti yang ditunjukkan oleh pemikiran, adalah apabila makna yang dikandung oleh
suatu lafadz memiliki fakta yang dapat diindera, atau yang bisa digambarkan
dalam benak sebagai sesuatu yang dapat diindera. Maka, makna tersebut menjadi
mafhum bagi orang yang bisa mengindera atau menggambarkannya dalam benak.
Tetapi, tidak menjadi mafhum bagi orang yang belum dapat mengindera atau
menggambarkannya, meskipun orang tersebut memahami langsung makna kalimat yang
disampaikan kepadanya, atau yang ia baca.
Oleh karena itu mutlak bagi seseorang untuk menerima ungkapan yang
dibaca atau didengarnya dengan cara berfikir; dengan kata lain hendaklah ia
memahami makna-makna pada kalimat sebagaimana yang ditunjukkan oleh maksud
kalimat tersebut, bukan yang diinginkan atau dikehendaki oleh orang yang
mengucapkannya. Dan pada saat yang sama
ia harus memahami pula fakta dari makna-makna tersebut dalam benaknya, dengan
cara mempersonifikasikan kenyataan tersebut sehingga makna-makna itu menjadi
mafahim baginya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, mafahim adalah makna-makna yang bisa dijangkau yang
memiliki fakta dalam benak, baik fakta yang bisa diindera di luar, atau berupa
fakta yang diyakini keberadaanya di luar, dengan suatu keyakinan yang
didasarkan kepada suatu fakta (bukti) yang bisa diindera. Selain dari hal
diatas, yaitu berupa makna-makna lafadz atau kalimat saja, tidak bisa disebut
sebagai mafhum melainkan hanya sekedar 'maklumat' atau pengetahuan belaka.
Mafahim
ini terbentuk dari upaya mengkaitkan fakta/realita dengan pengetahuan (bila
kita ingin memahami hakekat dari sesuatu, pent.) atau dengan mengkaitkan (setiap)
pengetahuan dengan kenyataan (bila ingin mengetahui realitanya). Setelah
terbentuknya mafahim itu maka akan lebih jelas lagi bila didasarkan pada satu
atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikan tolok ukur untuk fakta dan
pengetahuan ketika ia berfikir. Dengan kata lain mafahim itu akan lebih jelas
bila memiliki cara berpikir tertentu
terhadap kenyataan dan pengetahuan (yang ia miliki), maka akan terbentuklah
pada orang tersebut suatu pola pikir (yang khas) dalam memahami kata-kata,
kalimat serta makna-maknanya sesuai dengan kenyataan yang tergambar dalam
benaknya. Kemudian barulah dia menentukan sikap terhadapnya. Dengan demikian aqliyah adalah cara yang digunakan dalam memahami atau memikirkan
sesuatu. Dengan kata lain, aqliyah adalah cara yang digunakan dalam mengkaitkan
kenyataan dengan pengetahuan atau sebaliknya, yang disandarkan kepada satu atau
lebih landasan (ideologi). Dari sinilah timbulnya perbedaan pola berpikir
(aqliyah); seperti pola pikir Islami, pola pikir komunis, pola pikir
kapitalis, pola pikir anarkis atau pola pikir yang teratur.
Adapun apa yang dihasilkan oleh mafahim, maka hal itu
adalah sebagai penentu tingkah laku manusia terhadap kenyataan yang dapat
dipikirkannya, juga sebagai penentu corak kecenderungan manusia terhadap
kenyataan tersebut, apakah diterima ataukah ditolak. Bahkan kadang-kadang dapat membentuk suatu
kecenderungan dan satu kesukaan tertentu.
Akan halnya kecenderungan
(muyul); adalah keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi
kebutuhannya, dan senantiasa terikat dengan mafahim yang ia miliki tentang
hal-hal yang direncanakan untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan yang menimbulkan kecenderungan itu adalah
energi dinamis yang mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan naluri dan
jasmani, serta daya pikir yang mengkaitkan antara "kemampuan/potensi
dengan mafahim". Dengan
kecenderungan tersebut, atau keinginan yang terkait dengan mafahim tentang
kehidupan, maka akan terbentuklah pola sikap (nafsiyah) manusia.
Berdasarkan keterangan di atas, maka 'nafsiyah' adalah cara yang digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhan naluri dan jasmaninya. Dengan kata lain 'nafsiyah' adalah cara yang
digunakan untuk mengikat dorongan memenuhi kebutuhan dengan mafahim. Nafsiyah
itu adalah gabungan antara keinginan manusia yang bergejolak secara pasti dan
normal dalam dirinya, dengan mafahim terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya,
yang terikat dengan mafahimnya tentang kehidupan.
Dari aqliyah dan nafsiyah ini, terbentuklah syakhshiyah
(kepribadian manusia). Walaupun akal dan pemikiran ada secara fitri dan pasti
keberadaanya pada setiap manusia, akan tetapi pembentukan aqliyah terjadi dari
hasil usaha manusia sendiri. Demikian juga dengan kecenderungan, walaupun ada
secara fitri dan pasti keberadaanya, tetapi pembentukan nafsiyah terjadi dari
hasil usaha manusia itu sendiri.
Sebab yang menjelaskan makna suatu pemikiran sehingga
menjadi mafhum adalah adanya satu atau lebih landasan (ideologi) yang dijadikan
sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan ketika seseorang
berpikir. Dan karena yang menjelaskan
dan menentukan keinginan sehingga menjadi suatu kecenderungan adalah gabungan
(kombinasi) yang terjadi antara kecenderungan dan mafahim. Maka adanya satu atau lebih landasan
(ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan dan kenyataan
ketika manusia berfikir, mempunyai pengaruh yang terbesar dalam membentuk aqliyah
dan nafsiyah. Berarti juga memiliki
pengaruh besar dalam membentuk syakhsiyah dengan suatu cara yang khas, yang
berbeda dengan yang lain.
Apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang sama
dengan apa yang digunakan untuk membentuk Nafsiyah, yaitu membutuhkan satu atau
lebih landasan (ideologi), maka pada saat itu terbentuklah pada diri manusia
suatu kepribadian yang mempunyai corak dan warna tertentu yang berbeda dengan
yang lain.
Tetapi apabila yang membentuk Aqliyah adalah hal-hal yang
berbeda dengan apa yang digunakan untuk membentuk nafsiyah, yaitu berupa satu
atau lebih landasan (ideologi) yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa aqliyah
seseorang berbeda dengan nafsiyahnya, dengan kata lain ia akan memiliki pola
sikap yang berbeda dengan pola pikirnya.
Sebab dengan keadaan tersebut ia akan mengkaitkan kecenderungannya
kepada satu atau lebih landasan (ideologi) yang masih ada dalam dirinya sejak
semula (sebelum mempunyai pola pikir yang baru, pent.). Dengan demikian ia akan mengaitkan
kecenderungannya dengan mafahim (lama) yang berbeda dengan mafahim (baru) yang
telah membentuk aqliyahnya, kemudian akan terbentuk pada dirinya suatu
kepribadian yang kacau, yang tidak memiliki corak dan warna tertentu, sehingga
pemikirannya berbeda dengan kecenderungannya.
Hal ini disebabkan karena ia memahami kata-kata, kalimat-kalimat dan
kejadian-kejadian dengan cara yang bertentangan dengan kecenderungannya
terhadap apa yang ada di sekitarnya
Oleh karena itu usaha memperbaiki kepribadian manusia dan
pembentukannya adalah dengan cara mewujudkan satu landasan (ideologi) tertentu
yang digunakan secara bersamaan bagi aqliyah maupun nafsiyahnya. Dengan kata
lain landasan (ideologi) yang dijadikannya sebagai tolok ukur untuk pengetahuan
dan kenyataan ketika manusia berfikir, harus
digunakan pula untuk menggabungkan kecenderungan dengan mafahim. Dengan cara ini terbentuklah sebuah
kepribadian yang dibangun atas suatu landasan ideologis serta tolok ukur
tertentu, yang mempunyai corak warna tertentu.
SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH
Islam telah memperbaiki diri manusia secara sempurna guna
mewujudkan adanya suatu syakhshiyah tertentu yang khas, dan berbeda dengan yang
lain. Islam telah memperbaiki pemikiran dengan aqidah Islam, yaitu menjadikan
aqidah sebagai landasan berfikir (qa'idah fikriyah) yang menjadi dasar
pemikiran manusia yang dapat membina dan membentuk mafahimnya; agar ia mampu
membedakan antara pemikiran yang benar dan yang salah tatkala melakukan
standarisasi suatu pemikiran dengan aqidah Islam. Ia menjadikan aqidah Islam
sebagai dasar untuk membina dan membentuk mafahimnya, karena Islam merupakan
qa'idah fikriyah. Dengan demikian disamping akan terbentuk aqliyah yang
dibangun berdasarkan aqidah, sehingga ia memiliki aqliyah yang khas, yang
berbeda dengan yang lain, juga memiliki suatu tolok ukur yang benar untuk
setiap pemikiran/ide. Dengan demikian ia akan selamat dari ketergelinciran dan
kesalahan serta kerusakan berfikir. Ia akan tetap benar dalam berfikir, dan
tepat dalam memahami segala sesuatu.
Pada saat yang sama, Islam telah mengatur perbuatan
manusia yang muncul dari kebutuhan jasmani dan gharizahnya dengan hukum-hukum
syara' yang terpancar dari aqidah Islam. Peratuan-peraturan tersebut adalah
peraturan yang benar, yang mengatur gharizah, bukan menindasnya; yang dapat
mengarahkan dan bukan membiarkanya liar tanpa kendali. Islam menawarkan
pemenuhan seluruh kebutuhannya secara serasi dan harmonis, sehingga ia
merasakan kebebasan dan ketenangan.
Disamping itu Islam menjamin pemenuhan seluruh kebutuhan manusia secara
harmonis, sehingga mendatangkan ketenangan dan ketentraman. Islam telah
menjadikan aqidah Islam sebagai aqidah yang dapat difikirkan (dijangkau oleh
aqal), sehingga tepat untuk dijadikan sebagai landasan berfikir yang digunakan
sebagai tolok ukur terhadap seluruh pemikiran yang ada, dan dijadikan pula
sebagai suatu pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan
kehidupan. Sebab, manusia hidup di bumi
yang merupakan bagian dari alam semesta, maka pemikiran yang menyeluruh
tersebut harus dapat memecahkan seluruh simpul-simpul problema yang ada di
dalam dan diluar diri manusia.
Oleh karena itu pemikiran menyeluruh yang disodorkan
Islam ini, sangat layak dijadikan sebagai mafhum umum, yaitu sebagai tolok ukur
yang dapat digunakan secara langsung pada saat terjadinya perpaduan antara
dorongan jasmani dan naluri dengan mafahim manusia terhadap masalah yang
dihadapi, sekaligus menjadi dasar terbinanya kecenderungan-kecenderungan
manusia.
Dengan demikian Islam telah menanamkan dalam diri manusia
suatu qa'idah fikriyah yang pasti, yang berfungsi sebagai tolok ukur yang paten
bagi mafahim maupun kecenderungan-kecenderungannya pada waktu yang bersamaan.
Dengan kata lain, ia berfungsi sebagai standart bagi aqliyah dan nafsiyahnya,
sehingga dapat menghasilkan suatu kepribadian khas, yang berbeda dengan
kepribadian yang lain.
Dari sini kita dapati, bahwasanya Islam membentuk
Syakhshiyah Islamiyah seseorang dengan aqidah Islam. Dengan aqidah itulah dibentuk aqliyah dan
nafsiyahnya. Jelaslah bahwa aqliyah Islamiyah adalah berfikir atas dasar
Islam. Artinya, menjadikan Islam sebagai
satu-satunya standar umum tentang berbagai pemikiran mengenai kehidupan.
Aqliyah Islamiyah tidaklah hanya dimiliki oleh orang-orang cerdik pandai atau
kaum intelektual/pemikir saja, tetapi cukup bila seseorang menjadikan Islam
sebagai asas bagi seluruh pemikirannya secara praktis dan faktual, agar ia
memiliki suatu aqliyah Islamiyah dalam dirinya.
Adapun nafsiyah Islamiyah adalah menjadikan seluruh
kecenderungannya atas dasar Islam.
Artinya, ia jadikan Islam sebagai satu-satunya standar umum dalam
aktifitas pemenuhan kebutuhan (jasmani dan naluri). Nafsiyah ini tidak hanya
dimiliki oleh kaum sufi (yang menghabiskan waktunya untuk beribadah), atau
orang-orang yang fanatik terhadap agamanya, Tetapi cukuplah bila seseorang
menjadikan Islam sebagai standar bagi seluruh aktifitas pemenuhan kebutuhan
(jasmani dan naluri)nya secara praktis dan layak, agar ia memiliki suatu
nafsiyah Islamiyah dalam dirinya.
Dengan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah tersebut, terbentuklah
syakhshiyah Islamiyah seseorang tanpa memperhatikan lagi apakah ia seorang
'alim ataukah jahil; apakah ia melaksanakan fardlu, sunnah, meninggalkan yang
haram dan makruh; atau apakah ia melakukan lebih dari itu. Dengan kata lain
mengerjakan berbagai perbuatan yang mendatangkan ketaatan dan disukai Allah
serta menjauhi hal-hal yang syubhat. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat
mewujudkan/membentuk syakhshiyah Islamiyah. Sebab setiap orang yang berfikir di
atas landasan Islam dan menjadikan hawa nafsunya tunduk terhadap Islam, berarti
telah terbentuk dalam dirinya suatu syakhshiyah Islamiyah.
Memang benar bahwasanya Islam memerintahkan memperbanyak
penguasaan Tsaqafah Islamiyah untuk mengembangkan aqliyah tersebut, sehingga
memiliki kemampuan untuk menilai (membanding-bandingkan) setiap pemikiran.
Islampun memerintahkan untuk melakukan amal-amal perbuatan yang wajib, mandub
(sunah) serta amal-amal perbuatan yang disukai Allah, meninggalkan sebanyak
mungkin perbuatan-perbuatan yang haram, makruh, atau syubhat, untuk memperkuat
nafsiah tersebut sehingga memiliki kemampuan untuk menolak setiap kecenderungan
yang berlawanan dengan Islam. Semua itu berfungsi untuk meningkatkan derajat
Syakhsiyah dan menjadikan dirinya berjalan di jalan yang luhur dan mulia,
tetapi bukan berarti orang yang tidak mengerjakan semua itu tidak memiliki
Syakhsiyah Islamiyah. Dia tetap
memiliki Syakhsiyah Islamiyah, sebagaimana halnya orang-orang awam yang tingkah
lakunya dianggap Islami, begitu pula para pelajar yang terbatas hanya
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang wajib dan meninggalkan yang haramnya
saja. Mereka masih memiliki Syakhsiyah Islamiyah, walaupun kadar kekuatan
Syakhsiyah Islamiyahnya berbeda-beda, namun demikian seluruhnya termasuk
memiliki Syakhsiyah Islam. Yang penting
dalam menentukan bahwa seseorang memiliki Syakhsiyah Islamiyah adalah tindakan
yang menjadikan Islam sebagai asas bagi pemikiran dan kecenderungannya. Dari
sini dapat diketahui adanya perbedaan tingkatan Syakhsiyah Islamiyah, Aqliyah
Islamiyah (pola pikir islam) dan Nafsiyah Islamiyah (kecenderungan jiwa Islam).
Oleh karena itu, suatu kesalahan besar bagi mereka yang
menggambarkan bahwa Syakhsiyah Islamiyah itu ibarat "Malaikat".
Besar sekali bahayanya (pendapat) orang-orang semacam itu dalam masyarakat.
Sebab, mereka akan mencari "malaikat" di tengah-tengah masyarakat
manusia dan pasti mereka tidak akan menemukannya, sekalipun pada dirinya
sendiri. Akibatnya merekapun dihinggapi rasa putus asa, kemudian menjauhkan
diri dari kaum Muslimin. Para pengkhayal
ini telah menyangka bahwa Islam itu hanya khayalan belaka; dan mustahil
diterapkan (dalam kehidupan). Islam itu ibarat sesuatu yang amat indah, yang
tidak mungkin bagi manusia mampu menerapkannya atau dapat meraihnya, yang pada
akhirnya mereka menjauhkan dan menghalangi manusia dari Islam, dan melumpuhkan
serta mematikan (semangat) banyak orang untuk beramal (berjuang).
Padahal Islam datang ke dunia untuk diterapkan secara
nyata. Islam adalah sesuatu yang riil bukan suatu hal yang sulit untuk
menerapkannya. Setiap manusia, betapapun
lemah pemikirannya, dan bagaimanapun kuatnya naluri serta kebutuhan
jasmaninya, memiliki kemungkinan untuk menerapkan Islam pada dirinya dengan
mudah, setelah sebelumnya memahami aqidah Islam dan mempunyai sosok kepribadian
yang Islami. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai suatu tolak
ukur bagi pola pikir dan kecenderungan (jiwa)nya, kemudian berjalan sesuai
dengan tolak ukur tersebut maka pastilah ia memiliki syakhshiyah Islam. Kemudian ia perkuat syakhshiyahnya dengan
menambah tsaqafah Islam untuk mengembangkan pola pikirnya dan dengan
mengerjakan perbuatan-perbuatan (amal
ibadah) yang mendorongnya untuk taat (kepada Allah) dalam rangka memperkuat
nafsiyah (jiwa)nya, sehingga ia berjalan mencapai derajat yang luhur dan tetap
(mempertahankan) derajatnya yang tinggi itu di dunia, serta dapat meraih
keridlaan Allah SWT di dunia dan akhirat.
ALLAH ADALAH DZAT YANG HAKIKI
BUKAN SEKEDAR KHAYALAN DALAM OTAK
Banyak orang di muka bumi ini, terutama di dunia Barat,
yang meyakini dan mengimani adanya Tuhan. Tetapi keyakinan dan keimanan mereka
ini didasarkan pada suatu anggapan, bahwa Tuhan itu hanyalah sekedar ide
(pandangan), bukan sesuatu yang riil (yakni mempunyai pengaruh terhadap kehidupan). Mereka beranggapan bahwa iman akan adanya
"Tuhan" berarti iman kepada "Ide ketuhanan", suatu ide yang
menurut mereka bagus, karena selama manusia mengkhayalkan ide tersebut,
meyakini dan tunduk pada khayalannya itu, ia akan terdorong menjauhi keburukan
dan mengerjakan kebajikan. Dan ini menurut mereka merupakan dorongan dari
dalam, yang pengaruhnya lebih kuat dibandingkan dorongan dari luar. Oleh karena
itu mereka beranggapan bahwa beriman akan adanya Tuhan merupakan suatu
keharusan, dan (keimanan semacam ini) harus digalakkan agar manusia tetap
terdorong secara sukarela melakukan kebajikan dengan dorongan dari dalam, yang
mereka namakan sebagai waaziu'ud diini
(bisikan hati).
Orang-orang (yang berpandangan) semacam itu sangat mudah
terjerumus kedalam atheisme; atau murtad dari sesuatu yang mereka imani; pada
saat akal mereka mulai berfikir dan mencoba menjangkau hakekat wujud Tuhan
(yang mereka khayalkan). Apabila akal belum mampu menjangkaunya, atau menjangkau
pengaruh/tanda adanya Khaliq, mereka dengan segera mengingkari wujud Tuhan dan
kufur terhadap Allah. Lebih celaka lagi, keyakinan bahwa Tuhan itu hanya
suatu ide (pemikiran/khayalan) bukan
sesuatu yang riil, akan menjadikan pula perbuatan baik dan buruk hanya sekedar
ide, bukan sesuatu yang riil. Akibatnya manusia mengerjakan atau menjauhi
suatu perbuatan menurut kadar khayalannya tentang ide kebaikan dan keburukan
tersebut.
Penyebab mereka memiliki iman semacam itu adalah karena
mereka tidak menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah. Mereka tidak
berusaha menguraikan secara aqliy simpul masalah besar, yaitu pertanyaan alami
mengenai alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang apa yang ada sebelum dan
sesudah kehidupan dunia, dan hubungan ketiga unsur (alam, manusia, dan
kehidupan) tersebut dengan apa yang ada dengan sebelum dan sesudah kehidupan
dunia. Namun demikian mereka terima pemecahan ini dari orang-orang yang
diinginkannya (gereja), Mereka mempertahankan keimanannya ini tanpa berusaha
menjangkau eksistensi yang mereka imani.
Memang banyak diantara mereka yang berusaha menggunakan akalnya, namun
mereka selalu mendapat jawaban, bahwa agama itu berada di luar akal manusia
(misteri), sehingga hal ini memaksanya untuk berdiam dan tidak bertanya lagi.
Sesungguhnya yang benar adalah bahwa Allah itu (suatu
Dzat yang) hakiki bukan hanya sekedar ide (khayalan) belaka. WujudNya pun dapat
dijangkau dan di indera, meskipun suatu hal yang mustahil untuk menjangkau dan
melihat DzatNya. Bukankah anda melihat
bahwa, seseorang dapat meyakini adanya pesawat hanya semata-mata dengan mendengarkan
suaranya yang menggema di udara, meskipun ia duduk di dalam suatu ruangan.
Dengan
kata lain, melalui perantaraan indera yang dapat mendengarkan bunyi pesawat
terbang ia memahami adanya pesawat tersebut meskipun ia sendiri tidak melihat
dan tidak mampu mengindera Dzatnya. Dari sinilah ia meyakini keberadaan
pesawat (yang ada di udara) hanya dari mendengar suaranya. Yaitu membenarkan
dengan pasti dan yakin keberadaan pesawat terbang tersebut. Memahami "keberadaan" pesawat
berbeda dengan memahami dzat pesawat. Memahami dzatnya tidak akan diperoleh
karena tidak mampu menjangkau dzatnya. Sedangkan memahami keberadaannya dapat
diperoleh dengan pasti hanya melalui suara (pesawat)nya. Wujud (eksistensi)
pesawat terbang adalah suatu hal yang riil, bukan semata-mata ide
khayalan. Demikian pula halnya dengan segala sesuatu yang dapat dijangkau
oleh indera manusia maka keberadaannya adalah hal yang pasti dan meyakinkan
karena dapat disaksikan dan diindera,
begitu juga adanya sifat saling membutuhkan antara suatu benda dengan dzat
lainnya adalah sesuatu yang pasti, karena manusia dapat menyaksikan dan
menginderanya. Gugusan bintang-bintang di angkasa sangat membutuhkan aturan
(agar bisa beredar dengan rapi) begitu pula api memerlukan si pemakai untuk bisa menyala; begitulah
halnya dengan segala sesuatu yang dapat diindera pasti membutuhkan kepada yang lain. Segala sesuatu yang
membutuhkan kepada yang lain, tidak mungkin bersifat azali (tidak berawal dan
tidak berakhir), sebab bila ia bersifat azali tentu tidak akan membutuhkan
kepada yang lain. Dengan adanya sifat membutuhkan kepada yang lain inilah,
menunjukkan bahwa ia tidak bersifat azali. Dengan demikian merupakan suatu
kepastian bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera seluruhnya
adalah mahluk secara pasti. Sebab benda-benda tersebut bersifat azali, jadi
dengan kata lain merupakan mahkluk (ciptaan) Sang Pencipta. Penginderaan
terhadap makhluk-makhluk (Allah) sebagaimana penginderaan terhadap suara
pesawat adalah sesuatu yang pasti. Keberadaan Khaliq yang menciptakan segenap
makhluk-makhluk ciptaanNya, laksana keberadaan pesawat yang mengeluarkan suara,
merupakan sesuatu yang pasti juga. Jadi keberadaan Khaliq bagi
makhluk-makhlukNya adalah sesuatu yang tidak mungkin diingkari (pasti).
Manusia
telah memahami (keberadaan)
makhluk-makhluk itu dengan indera dan akalnya. Dengan penginderaan terhadap
makhluk-makhluk itulah maka manusia dapat memahami keberadaan Khaliq dengan
pasti. Dengan demikian keberadaan
(eksistensi) Khaliq merupakan sesuatu yang hakiki (riil), karena eksistensiNya
dapat dijangkau oleh manusia melalui inderanya. Dia bukanlah sekedar ide
(khayalan) dalam benak manusia.
Ditinjau
secara aqliy, Al-khaliq wajib bersifat azali. Sebab, jika Dia tidak bersifat
azali tentulah membutuhkan kepada yang lain, bila demikian halnya berarti Dia
makhluk. Oleh karena itu alam real tidak
bersifat azali, sebab membutuhkan aturan dan keadaan tertentu yang tidak bisa
lain kecuali harus selalu terikat pada aturan dan kondisi tersebut.
Begitu
pula halnya dengan materi yang bersifat tidak azali karena membutuhkan yang
lain, tidak bisa berubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain kecuali dengan proporsi dan aturan tertentu
serta tidak bisa lain kecuali terikat pada aturan. Jadi materi itu bersifat membutuhkan kepada
yang lain. Oleh karena itu, baik alam
real maupun materi bukanlah pencipta.
Sebab, keduanya tidak bersifat azali dan qadim (terdahulu). Maka, tidak
ada kemungkinan pencipta yang lain, selain Allah ta`ala. Dengan kata lain
Dialah yang bersifat azali dan qadim, yang sebagian orang menyebutnya "Allah, God, Sang Hyang Widi, atau
semisalnya. Semuanya menunjukkan maksud
yang sama yaitu Allah, pencipta yang Azali dan Qadim.
Walhasil, Allah itu adalah Dzat yang hakiki, yang dapat
dijangkau eksistensiNya oleh indera manusia melalui keberadaan
makhluk-makhlukNya, Tatkala manusia takut kepada Allah, sebenarnya ia takut
kepada Dzat yang benar-benar ada, yang dapat dijangkau eksistensiNya melalui
indera. Dan ketika dia beribadah kepada Allah serta bertaqarrub kepadaNya,
sebenarnya ia tengah beribadah kepada Dzat yang benar-benar ada, yang dapat
dijangkau keberadaanNya oleh indera manusia. Begitu juga, ketika ia memohon
keridlaan Allah, sesungguhnya ia tengah meminta keridlaan dari Dzat yang ada
secara hakiki yang dapat dijangkau eksistensiNya oleh indera manusia. Oleh
karena itu, tatkala manusia takut dan beribadah kepada Allah serta memohon
keridlaanNya, semua itu dilakukannya dengan penuh keyakinan tanpa secuilpun
keraguan.
MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH
Secara fitri, dalam diri manusia terdapat kecenderungan
untuk mensucikan sesuatu (taqdis).
Berdasarkan fitrahnya itulah, manusia melakukan ibadah terhadap sesuatu.
Berarti ibadah merupakan manifestasi (hasil reaksi) alami dari naluri beragama (gharizah
tadayyun). Oleh karena itu manusia
akan merasakan suatu ketentraman dan kebahagiaan, tatkala melakukan
ibadah. Sebab ketika itu ia telah memenuhi
tuntutan gharizah tadayyun.
Namun demikian masalah ibadah tidak boleh diserahkan
begitu saja kepada persepsi dari dalam (Wijdan)
untuk menentukan apa yang seharusnya diibadahi. Sebab hanya mengandalkan wijdan senantiasa
memiliki kecenderungan terjadi kesalahan dan dapat menyeret ke jurang
kesesatan. Sebagian besar sesembahan
manusia yang disembah berdasarkan dorongan wijdan saja adalah suatu hal yang sebenarnya harus
dilenyapkan dan sebagian besar yang disucikan oleh manusia berdasarkan wijdan
saja adalah suatu hal yang harus direndahkan. Apabila wijdan dibiarkan
menentukan sendiri apa yang selayaknya disembah oleh manusia, maka hal ini
dapat membawa kepada kesesatan dalam beribadah yaitu selain kepada sang
pencipta; atau dapat menjerumuskannya pada perbuatan khurafaat, dengan maksud
untuk mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, tetapi malahan menjauhkan dari
Al-Khaliq.
Hal
seperti itu bisa saja terjadi, sebab wijdan adalah suatu perasaan yang
terbentuk dari naluriah semata (ihsaas
gharizy); atau suatu perasaan yang muncul dari dalam manusia yang nampak
akibat adanya suatu kenyataan yang diindera atau dirasakan berinteraksi dengan
manusia, atau bisa juga muncul dari suatu proses pemikiran yang dapat
membangkitkan perasaan itu apabila manusia kembali hanya mengandalkan
perasaannya saja untuk sampai pada kesimpulan di atas tanpa disertai proses
berpikir maka kemungkinan besar akan terjerumus dalam kesesatan atau
kesalahan. Misalnya saja pada suatu
malam anda melihat sebuah bayang-bayang hitam, sehingga menyangka itu adalah musuh. Maka anda akan digerakkan oleh naluri
mempertahankan diri (gharizatul baqa')
sebagai bentuk rasa takut. Kemudian
perasaan anda mengambil reaksi terbaik yaitu dengan cara berlari. Tindakan seperti ini tentu saja merupakan
suatu kesalahan, sebab anda telah berlari karena takut terhadap sesuatu yang
mungkin tidak ada. Dan andapun lari dari
sesuatu yang seharusnya dilawan, sehingga reaksi anda adalah munculnya rasa
takut yang (dengan berlari) adalah tindakan yang salah. Akan tetapi jika anda menggunakan akal dan
memikirkan perasaan yang mencengkram diri anda, sehingga anda putuskan sikap
reaksi yang seharusnya, maka akan jelaslah bagi anda, tindakan apa yang
seharusnya dilakukan. Barangkali akan
jelas kemudian, bahwa bayangan itu hanyalah sebuah tiang listrik, pohon, atau
hewan, sehingga lenyaplah rasa takut dalam diri anda, dan anda dapat terus
berlalu. Dan mungkin juga akan jelas bagi anda, bahwa bayangan itu adalah
seekor binatang buas, sehingga tidak mungkin anda berlari dihadapannya. Anda
harus berusaha mencari perlindungan; dengan memanjat pohon misalnya, atau
berlindung di dalam rumah. Maka andapun akan selamat.
Oleh karena itu, manusia tidak diperbolehkan (begitu
saja) memenuhi tuntutan gharizah, kecuali disertai dengan penggunaan akal. Dengan kata lain, tidak boleh ia melakukan
suatu tindakan yang semata-mata berasal dari dorongan wijdan saja, tetapi
sebaliknya harus menggabungkan akal dengan wijdan. Berdasarkan hal ini maka taqdis (mensucikan
sesuatu), harus dibangun berdasarkan proses berpikir yang disertai perasaan
wijdan. Sebab taqdis adalah hasil
manifestasi dari gharizah tadayyun. Bentuk manifestasi ini tidak boleh ada
tanpa melalui proses berpikir, karena dapat menjerumuskan manusia kejurang
kesesatan dan kesalahan. Manusia, wajib memenuhi gharizah tadayyun, tetapi setelah
melalui proses berpikir, yaitu setelah menggunakan akalnya. Oleh karena itu, ibadah tidak boleh
dikerjakan, kecuali sesuai dengan hasil penunjukan akal, sehingga ibadah itu
benar-benar ditujukan kepada Dzat yang secara fithri patut disembah, Dialah Al-khaliq
yang mengatur segala sesuatu, yang (DzatNya) senantiasa dibutuhkan manusia.
Akal
manusia memastikan bahwa ibadah hanya dilakukan kepada Al-Khaliq, karena
Dialah yang mempunyai sifat azali
(tak berawal dan berakhir) dan wajibul
wujud (wajib keberadaannya). Manusia tidak boleh melakukan ibadah kepada
selain Al-Khaliq. Dialah yang telah
menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini, Yang memiliki sifat-sifat
sempurna secara mutlaq. Jika seseorang
telah meyakini keberadaanNya, maka ia akan mengharuskan dirinya untuk menyembah
dan melakukan ibadah kepadaNya semata.
Adanya
pengakuan bahwa Dia adalah Al-Khaliq, baik secara fithri ataupun aqliy,
mengharuskan seseorang yang mengakuinya untuk beribadah kepadaNya. Sebab,
ibadah adalah suatu bentuk manifestasi perasaannya terhadap keberadaan
Al-Khaliq. Ibadah merupakan bentuk
manifestasi rasa syukur tertinggi yang wajib dilakukan oleh makhluk kepada Dzat
yang telah memberinya nikmat penciptaan dan pengadaan. Fithrah manusia dan akal manusia mengharuskan
adanya ibadah. Sedangkan akal memastikan bahwa yang berhak disembah,
disyukuri, dan dipuji adalah Al Khaliq, bukan selainNya (makhluk). Oleh
karena itu kita menyaksikan bahwa orang-orang yang pasrah (menyerahkan diri)
hanya kepada wijdan saja sebagai bentuk manisfestasi taqdisnya tanpa
menggunakan akalnya, mereka terjerumus dalam kesesatan sehingga menyembah
banyak sesembahan, disamping pengakuannya terhadap wujud Al-Khaliq yang Wajibul
Wujud dan bersifat tunggal (Esa). Akan
tetapi ketika membangkitkan manifestasi gharizah tadayyun, mereka mensucikan
yang lain. Mereka melakukan ibadah
kepada Al Khaliq, tetapi juga sekaligus kepada makhluk-makhlukNya baik dengan
anggapan sebagai Tuhan yang layak disembah atau menyangka bahwa Al Khaliq
menitis pada suatu benda, ataupun menganggap Al Khaliq akan ridla apabila
dilakukan taqarrub kepadaNya melalui penyembahan kepada benda-benda tersebut.
Fithrah
manusia telah memastikan adanya Al-Khaliq. Tetapi manisfestasi taqdis yang
harus dilakukan tatkala muncul sesuatu yang menggerakkan rasa keberagamaannya
akan menyebabkan taqdis terhadap apa saja yang dianggapnya layak untuk
disembah. Mungkin sesuatu itu dianggap
sebagai Al-Khaliq, atau yang disangkanya sebagai Al-Khaliq akan ridla dengan
tindakannya itu, atau dianggap Al-Khaliq menitis/menjelma pada benda yang ia
sembah, disamping Al Khaliq Yang Maha Esa.
Oleh
karena itu, adanya persangkaan banyaknya tuhan yang disembah dialihkan kepada
dzat yang disembah, bukan terhadap ada atau tidaknya Al-Khaliq. Maka penolakan terhadap adanya banyak tuhan
yang disembah harus dijadikan sebagai penolakan dzat yang disembah (selain
Allah), mengharuskan dan menjadikan ibadah semata-mata kepada al-Khaliq yang
azali dan wajibul wujud.
Berdasarkan
hal ini Islam datang sebagai landasan (hidup) bagi seluruh manusia. Islam
menyatakan bahwa ibadah hanyalah dilakukan terhadap dzat yang wajibul wujud.
Dialah Allah SWT. Islam telah
menjelaskan secara rinci tentang semua itu melalui dorongan aqal secara jelas.
Islam melontarkan pertanyaan tentang sesuatu yang wajib disembah. Merekapun
menjawab, bahwa Dia adalah Allah. Mereka sendiri yang menetapkan buktinya.
Allah SWT berfirman:
"Katakanlah, kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang
ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: 'Kepunyaan Allah'.
maka apakah kamu tidak ingat ? Katakanlah: "Siapakah yang mempunyai langit
yang tujuh dan yang mempunyai Arsy yang agung?'. Mereka akan menjawab;
'Kepunyaan Allah'. Katakanlah:'Maka apakah kamu tidak bertaqwa?'Katakanlah
:'Siapakah yang ditanga-nNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia
melindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?'Mereka akan menjawab:
'kepunyaan Allah'. Maka dari jalan
manakah kamu ditipu? Sebenarnya kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan
sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan
sekali-kali tidak ada tuhan lain besertaNya. Kalau ada tuhan lain besertaNya
masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya,dan sebagian
tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lainnya."
(QS Al Mu'minuun:
84-91)
Dengan pengakuan bahwasanya Allah pencipta segala
sesuatu, ditangan-Nyalah terletak kekuasaan atas segala sesuatu maka mereka pun
telah mengharuskan diri mereka sendiri untuk beribadah kepada Allah semata.
Sebab sesuai dengan pengakuan mereka ini, hanya Dialah (Allah) yang berhak
disembah. Dalam banyak ayat lainnya dijelaskan, bahwa selain Allah, tidak dapat
berbuat apapun yang dapat menjadikannya layak disembah sebagaimana ayat-ayat
yang dibawah ini:
"Katakanlah,
tunjukkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan serta
menutup mata hatimu. Siapakah tuhan selain Allah yang mampu mengembalikan
kepadamu?" (QS Al An'aam: 46)
"Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah?" (QS
Ath-Thuur: 43)
"(Dan) Tuhanmu
adalah yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
selain Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS Al Baqarah:
163)
"Tidak ada
Tuhan selain Dia (Allah)." (QS Al-Baqarah: 255).
"(Dan)
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Allah, yang Maha Esa dan Maha
Mengalahkan" (QS Shaad: 65)
"Padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa (Allah)" (QS Al
Maidah: 73)
Semua ayat di atas
menunjukkan tidak ada yang berhak disembah, kecuali Dzat yang wajibul wujud.
Dialah Allah yang Maha Esa.
Islam
datang dengan ajaran "Tauhidul ibadah" terhadap Dzat yang wajibul
wujud, yang secara aqliyah maupun fitri, telah ditetapkan keberadaanNya. Banyak ayat-ayat Al Qur'an memberi petunjuk
yang gamblang, yang menolak adanya banyak sesembahan .
"Ilaah", menurut arti bahasa,
tidak memiliki arti lain, kecuali
"Yang disembah" (Al Ma'buud).
Dan secara syar'i tidak ditemukan adanya arti lain, selain arti
itu. Maka arti "laa ilaaha", baik secara lughawi atau syar'iy, adalah "laa ma'buuda". Dan "illallah",
secara lughawi ataupun syar'iy, artinya adalah Dzat yang wajibul wujud, yaitu
Allah SWT.
Berdasarkan
hal ini, makna dari syahadat pertama dalam Islam, bukanlah kesaksian atas
ke-Esaan Al-Khaliq semata, sebagaimana anggapan kebanyakan orang. Tetapi arti yang dimaksud dalam syahadat
tersebut adalah adanya kesaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah
selain Allah, yang memiliki sifat wajibul wujud, sehingga peribadahan dan
taqdis semata-mata hanya untukNya. Dan
secara pasti menolak serta menyingkirkan segala bentuk ibadah kepada selain
Allah SWT.
Jadi, pengakuan terhadap adanya Allah, tidaklah cukup
sekedar pengakuan tentang ke-Esaan Al-Khaliq, tetapi harus disertai adanya
pengakuan terhadap ke-Esaan. Sebab, arti
"laa ilaaha illallah" adalah "laa ma'buuda illallaahu".
Oleh karena itu, syahadat seorang muslim, yaitu bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, mewajibkan kepada dirinya untuk melakukan ibadah hanya
kepada Allah, dan membatasi ibadahnya semata-mata kepada Allah saja, sehingga arti tauhid di sini adalah "Tauhidut taqdis" terhadap
Al-Khaliq, yakni "Tauhidul
ibadah" kepada Allah Yang Maha Esa.
Al QADRIYATU AL GHAIBIYAH
Al Qadriyatul
Ghaibiyah adalah sikap berserah diri kepada qadar dan mengembalikan segala
sesuatu yang dihadapi manusia dalam kehidupan ini kepada ketentuan yang
bersifat ghaib, dan bahwasanya perbuatan manusia itu tidak mempunyai pengaruh
apa-apa. Perbuatan manusia tidak lain
adalah musayyar, diarahkan oleh
kekuatan ghaib, tanpa dapat memilih bagaikan bulu yang diterbangkan oleh angin
ke arah manapun.
Ide
tersebut di atas telah menyebar dan merasuk ke dalam pembahasan aqidah,
semenjak akhir masa Khilafah Abbasiyyah
dan berlanjut terus hingga sekarang.
Kewajiban beriman kepada qadla dan qadar telah dijadikan sebagai sarana
memasukkan ide ini ke tengah-tengah kaum muslimin. Akibatnya, muncullah orang-orang yang gagal
usahanya dengan menyandarkan diri kepada ide tersebut, sekaligus menjadikannya
sebagai alasan kegagalan mereka. Begitu
pula orang-orang yang malas dan bodoh, telah menyandarkan diri kepada ide
tersebut, sekaligus menjadikannya sebagai dalih kemalasan dan kebodohan
mereka, sehingga banyak orang yang bersikap pasrah terhadap kezhaliman yang
menimpa mereka, kemiskinan yang mencabik-cabik kehidupan mereka, kehinaan yang
melanda mereka dan kemaksiatan yang mendominasi perbuatan mereka. Sikap ini disebabkan merasuknya ide tersebut
yang dijadikan sebagai aqidah, dimana mereka menganggap bahwa tindakan ini
merupakan penyerahan diri kepada qadla dan qadar yang berasal dari Allah.
Ide
ini masih terus mendominasi pemikiran dan tingkah laku kaum muslimin. Padahal apabila masalah ini diamati, akan
diketahui bahwa ide qadriyatul ghaibiyah tidak pernah muncul pada masa
shahabat, bahkan tidak pernah terfikirkan sama sekali. Seandainya para shahabat mengikuti ide ini,
tentulah mereka tidak pernah mengembangkan Islam dan menaklukkan negeri/daerah
baru, dan tidak akan mempersulit diri serta membiarkannya diarahkan kemana
saja. Merekapun akan berkata sebagaimana
apa yang dikatakan orang-orang sesudahnya, "Apa
yang telah ditaqdirkan pasti akan terjadi baik anda berbuat maupun tidak". Namun demikian, kaum muslimin yang bijaksana
dari kalangan shahabat saat itu, telah menyadari bahwa suatu benteng tidak akan
bisa ditaklukkan tanpa adanya pedang (perang); musuh hanya akan dapat
dikalahkan dengan kekuatan; rizki akan diperoleh dengan suatu usaha; penyakit
harus dihindari; peminum khamr (yang muslim) wajib didera; pencuri harus
dipotong tangannya; penguasa harus dimintai tanggung jawabnya dan
manuver-manuver politik harus direkayasa dan dilakukan terhadap musuh. Tidak mungkin mereka meyakini selain itu,
sedangkan mereka telah melihat langsung pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan
Rasulullah saw telah dikalahkan pada perang Uhud, akibat detasemen panah
menyalahi perintah pimpinan (komando Rasul) serta menyaksikan pula kemenangan
pada perang Hunain, setelah mereka kalah sebab pasukan yang lari dari medan
perang karena takut dari serangan panah telah kembali bertempur, ketika dipanggil
oleh Rasulullah, yang saat itu tetap teguh dalam medan peperangan bersama
beberapa gelintir orang, di hadapan tentara-tentara yang melarikan diri.
Sesungguhnya
Allah SWT telah mengajarkan kepada kita untuk selalu mengikatkan setiap sebab
dengan musababnya, serta menjadikan sebab menghasilkan musabab (akibat),
seperti misalnya api mempunyai sifat membakar sehingga tidak terjadi pembakaran
tanpa sebab api, begitu pula dengan pisau yang digunakan untuk memotong, tentu
tidak akan terjadi pemotongan tanpa adanya pisau. Allah SWT telah menciptakan manusia, lalu
dalam dirinya dijadikan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Begitu pula Allah SWT telah memberikan
ikhtiar kepada manusia untuk memilih jalan yang dikehendaki. Dia bisa makan ataupun berjalan kapan saja ia
kehendaki. Ia belajar lalu mengerti, ia
membunuh lalu dikenakan hukuman (qishash), ia meninggalkan jihad sehingga
menjadi hina dan ia meninggalkan usaha mencari nafkah lalu jadilah ia
miskin. Oleh karena itu tidak ada
Qadriyah ghaibiyah, baik dalam realita kehidupan ini ataupun dalam syari'at
Allah (Islam).
Adapun
masalah qadla dan qadar sama sekali
tidak ada kaitannya dengan ide qadriyatul ghaibiyah di atas, sebab yang
dimaksudkan dengan qadla adalah segala perbuatan atau kejadian yang dilakukan
atau menimpa manusia secara terpaksa.
Misalnya manusia melihat dengan mata bukan dengan hidung; mendengar
dengan telinga bukan dengan mulut dan tidak mempunyai kekuasaan atas denyut
jantung, atau petir yang menyambar di langit, gempa bumi yang menggoncang
sehingga menimbulkan malapetaka bagi manusia, atau jatuhnya seseorang dari atas
genteng atau rumah kemudian menimpa orang lain sehingga mati. Semua perbuatan tersebut termasuk ke dalam
pengertian qadla. Oleh karena itu
manusia tidak akan dihisab atau dimintai tanggungjawab atas semua kejadian
tersebut di atas, dan hal itu tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia yang
bersifat ikhtiariyah (atas
kehendaknya sendiri).
Sedangkan
qadar adalah khasiyat suatu benda yang menghasilkan sesuatu atau mengakibatkan
terjadinya sesuatu. Misalnya kemampuan
membakar yang dimiliki oleh api; kemampuan memotong yang dimiliki oleh pisau,
naluri mempertahankan jenis yang diperuntukkan bagi manusia dan sebagainya.
Namun demikian, semua khasiyat-khasiyat tersebut tidak
mampu melakukan suatu perbuatan kecuali dengan adanya si pelaku yang menggunakan
khasiyat-khasiyat benda tersebut.
Sehingga bila ia melakukan sesuatu atas kehendaknya sendiri maka yang
bertindak sebagai pelaku adalah manusia itu sendiri, bukan qadar yang terdapat
pada sesuatu yang dimanfaatkannya.
Sebagai contoh, jika seseorang membakar rumah dengan api, maka dialah
yang dikatakan sebagai pembakar, jadi pelakunya bukan api yang mempunyai
khasiyat membakar. Maka manusia akan
dimintai tanggung jawab atas perbuatan pembakaran tersebut, sebab dialah yang
telah memanfaatkan qadar/khasiyat, lalu mengerjakan sesuatu menurut kehendaknya
sendiri. Qadar tak mampu melakukan
perbuatan tanpa adanya seorang pelaku, begitu pula qadla, tak ada kaitannya
dengan perbuatan manusia yang sifatnya ikhtiariah. Jadi keduanya tidak ada hubungan dengan
perbuatan manusia yang bersifat ikhtiariah.
Begitu pula tidak ada kaitannya dengan nidzamul wujud (hukum alam) dari segi penguasaannya terhadap
manusia, melainkan keduanya termasuk dalam sistem alam ini yang berjalan sesuai
dengan peraturan yang telah diciptakan oleh Allah SWT bagi alam semesta,
manusia dan kehidupan.
Dengan demikian berarti manusia mampu memberikan pengaruh
dalam usaha mencari nafkah hidup atau dalam perjalanan hidupnya. Dia mampu pula
meluruskan penguasa yang zhalim atau memberhentikannya. Dia juga mampu
mempengaruhi setiap perbuatannya yang tergolong dalam perbuatan yang
ikhtiariyah.
Oleh
karena itu Ide Al Qadriyah al Ghaibiyah tidak lain merupakan salah satu bentuk
khurafat dan khayalan/imajinasi belaka.
RIZKI SEMATA-MATA DARI SISI ALLAH
Rizki tidak identik dengan pemilikan, sebab rizki adalah
pemberian. Dalam bahasa Arab Razaqa berarti A'tha, yaitu memberikan sesuatu.
Sedangkan yang dinamakan pemilikan adalah penguasaan terhadap sesuatu
dengan cara-cara tertentu untuk memperoleh harta yang diperbolehkan
syara'. Rizki dapat berupa rizki halal
ataupun haram; tetapi kedua duanya dinamakan rizki juga. Misalnya, harta yang diperoleh seorang
pekerja sebagai upah kerjanya. Begitu
pula harta yang diperoleh seorang penjudi dari perjudian yang
dilakukannya. Semuanya adalah harta yang
diberikan Allah SWT kepada kedua orang itu, tatkala mereka memeras tenaganya
dalam mengusahakan suatu pekerjaan yang biasanya dapat mendatangkan rizki.
Banyak
orang yang menyangka bahwa mereka sendirilah yang memberikan rizki untuk
dirinya. Sebagai contoh seorang pegawai
yang menerima gaji tertentu karena telah menguras tenaganya, menyangka bahwa
dialah yang mendatangkan rizki kepada dirinya sendiri. Dan tatkala orang itu mendapatkan kenaikan
gaji karena bekerja lebih keras atau karena memang berusaha memperoleh kenaikan
gaji, dia pun menyangka bahwa dirinyalah yang mendatangkan rizki itu (berupa
kenaikan gaji). Seorang pedagang yang
memperoleh keuntungan dari usahanya menyangka pula bahwa dialah yang mendatangkan
rizki bagi dirinya sendiri. Demikian
juga dengan seorang dokter yang mengobati pasien lalu menerima upah, menyangka
bahwa ia memberikan rizki kepada dirinya sendiri, dan lain sebagainya. Banyak orang menyangka demikian karena mereka
belum memahami hakekat "keadaan" (usaha) yang dapat mendatangkan
padanya rizki. Sehingga mereka menyangka
usahanya itu sebagai sebab (datangnya rizki).
Seorang muslim meyakini dengan pasti bahwasanya rizki itu
berasal dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia. Dan bahwasanya setiap keadaan (usaha) yang
biasanya mendatangkan rizki tidak lain adalah kondisi tertentu yang berpeluang
menghasilkan rizki. Tetapi ia bukan
merupakan sebab datangnya rizki. Apabila
usaha dianggap sebagai sebab, maka
setiap usaha pasti akan menghasilkan rizki. Padahal kenyataannya tidak
demikian. Kadang-kadang "keadaan"
(usaha) itu ada diupayakan, tetapi rizki tidak datang. Ini menunjukkan bahwa usaha bukan merupakan
sebab, melainkan hanya berupa "cara/usaha" untuk memperoleh rizki.
Disamping
itu tidak mungkin kita menganggap bahwa "keadaan/ usaha" yang
biasanya dapat mendatangkan rizki, adalah sebab untuk mendatang rizki. Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa
orang yang mengupayakan suatu usaha, dialah yang mendatangkan rizki pada
dirinya sendiri melalui usaha tersebut, sebab pengertian ini bertentangan
dengan nash-nash Al Quir'an yang qath'i, baik ditinjau dari dalalahnya (penunjukannya maknanya) dan
tsubutnya (sumbernya). Dan apabila setiap sesuatu (pengertian)
bertentangan dengan nash yang qath'i, baik dalalahnya maupun sumbernya maka
harus dipilih nash yang qath'i, kemudian
mengambilnya dan menolak selainnya.
Banyak ayat-ayat Al Qur'an yang menunjukkan dengan keterangan yang jelas
dan gamblang serta tidak dapat menerima ta'wil lain bahwasanya rizki adalah
semata-mata dari sisi Allah SWT, bukan berasal dari manusia.
Semua
yang dijelaskan tadi memberi kepastian kepada kita bahwasanya apa yang kita
saksikan berupa sarana atau cara yang dapat mendatangkan rizki, maka hal itu
semata-mata adalah berupa "cara (usaha/keadaan)" yang dapat
mendatangkan rizki. Allah SWT berfirman:
"(Dan) makanlah dari apa yang Allah
telah rizkikan kepadamu"
(QS Al Maidah: 88).
"Allahlah yang
menciptakan kamu, kemudan memberikan rizki"
(QS Ar Ruum: 40).
"Nafkahkanlah
sebagian rizki yang diberikan Allah kepadamu"
(QS Yaasiin: 47).
"Sesungguhnya
Allah memberikan rizki kepada siapa yang dikehendakiNya" (QS Ali
Imran: 37).
"Allahlah yang
memberi rizki kepadanya dan kepadamu"
(QS Al Ankabuut: 60).
"Kamilah yang
memberi rizki kepadamu" (QS At
Thaha: 132)
"Kami akan
memberi rizki kepadamu dan kepada mereka"
(QS Al An'aam: 151).
"Kamilah yang
akan memberi rizki pada mereka dan kepadamu"
(QS Al Israa': 31).
"Benar-benar Allah akan memberi rizki
kepada mereka"
(QS Al Hajj: 58)
"Allah
meluaskan rizki kepada siapa yang dikehendakiNya"
(QS Ar Ra'ad: 26)
"Maka mintalah
rizki itu dari sisi Allah" (QS
Al Ankabuut: 17)
"(Dan) tidak
ada satu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi
rizkinya" (QS Huud: 6)
"Sesungguhnya
Allah, Dialah Maha Pemberi rizki"
(QS
Ad Dzariyat: 58)
Ayat-ayat tersebut diatas begitu pula ayat-ayat lain yang
amat banyak jumlahnya penunjukan maknanya bersifat qath'i, tidak terkandung di
dalamnya kecuali makna yang satu dan tidak mempunyai ta'wil yang lain, bahwasanya rizki semata-mata berasal dari
sisi Allah bukan dari yang lain.
Meskipun demikian Allah SWT telah memerintahkan
hamba-hambaNya untuk berupaya melakukan berbagai macam pekerjaan setelah
diberikan (oleh Allah) pada diri mereka kesanggupan untuk memilih dan
melaksanakan cara/usaha yang biasanya mendatangkan rizki. Merekalah yang harus mengusahakan segala
bentuk cara/usaha yang dapat menghasilkan rizki dengan ikhtiar mereka, akan
tetapi bukan mereka yang mendatangkan rizki, sebagaimana yang dijelaskan oleh
ayat-ayat diatas. Bahkan hanya Allahlah
yang memberikan rizki kepada mereka dalam berbagai keadaan/cara, tanpa
memandang apakah rizki itu halal ataukah haram, dan tanpa melihat apakah
cara/usaha itu termasuk suatu hal yang dibolehkan, diharamkan atau diwajibkan
oleh Allah. Begitu juga tanpa memandang
apakah dengan usaha/cara itu dapat menghasilkan rizki atau tidak.
Walaupun
begitu Islam telah menjelaskan tata cara mana bagi seorang muslim diperbolehkan
dan mana yang dilarang mengusahakan usaha/cara yang dapat mendatangkan
rizki. Dalam hal ini Islam menjelaskan
sebab-sebab pemilikan, bukan sebab-sebab yang dapat mendatangkan rizki, dan
membatasi pemilikan dengan sebab-sebab yang telah ditentukan. Tidak boleh seorangpun berhak memiliki suatu
rizki kecuali dengan sebab-sebab yang telah ditentukan oleh syara', karena hal
itu merupakan rizki yang halal. Selain
itu ada rizki yang haram, walaupun semuanya (baik rizki yang halal maupun yang
haram) berasal dari sisi Allah SWT.
TIADA KEMATIAN TANPA DATANGNYA AJAL
Banyak
orang yang menyangka bahwa penyebab kematian itu bermacam-macam. Kadang-kadang
suatu kematian didahului oleh suatu penyakit yang mematikan seperti AIDS,
leuchemia, penyakit sampar atau karena tertusuk pisau, tertembak, terbakar api,
terpenggal kepalanya, serangan jantung (stroke) dan sebagainya. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah
sebab-sebab yang secara langsung menyebabkan datangnya kematian. Artinya, kematian itu datang karena
sebab-sebab tersebut. Berdasarkan
kenyataan seperti itu terkenal di kalangan mereka sebuah pepatah: "Banyak
sebab untuk mati tapi hasilnya satu, yaitu mati".
Pada hakekatnya kematian dan sebab kematian adalah satu,
yaitu sampainya ajal, tidak ada sebab yang lainnya. Bebagai contoh di atas yang seringkali
terjadi dan dapat menghantarkan kepada kematian hanya merupakan suatu kondisi
yang menghantarkan kepada kematian, dan bukan sebab-sebab kematian itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, suatu sebab akan menghasilkan
musabab atau akibat secara pasti; dan satu musabab tidak akan terjadi melainkan
dengan hanya satu sebab bagi musabab sendiri.
Berlainan dengan keadaan/kondisi, ia merupakan suatu kondisi yang berkaitan
dengan hal ikhwal tertentu (pembunuhan, hukuman mati, penyakit yang mematikan
dan sebagainya) yang dapat menghasilkan sesuatu berdasarkan kebiasaan. Tetapi keadaan/kondisi kadang-kadang
menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan atau bahkan tidak
menghasilkan sesuatu apapun.
Kadang-kadang ditemukan adanya keadaan (yang mematikan) tetapi kematian
tidak terjadi, dan terkadang ditemukan kematian tanpa didahului oleh suatu
keadaanpun.
Memang
banyak hal/kasus yang dapat menghantarkan kepada kematian. Tetapi hubungan
keduanya itu tidak bisa dijadikan sebagai postulat
kausalitas, karena kadang-kadang
'kasus/peristiwa' berbahaya itu terjadi tetapi tidak mengakibatkan kematian.
Dan sebaliknya, kematian bisa datang
tanpa didahului oleh suatu peristiwa/kasus semacam itu. Sebagai contoh orang yang tertusuk pisau dan
menderita luka parah sehingga --menurut analisa medis-- seharusnya ia mati, tetapi ternyata ia tidak
mati, bahkan kemudian sembuh dan sehat wal afiat. Begitu juga kadang-kadang terjadi kematian
tanpa sebab yang jelas, yaitu di luar perhitungan medis, seperti serangan
jantung yang membawa kematian seseorang secara mendadak.
Kejadian-kejadian
di atas tadi banyak ditemui dan diketahui oleh para dokter, ribuan kasus yang
diterima oleh rumah sakit-rumah sakit, suatu sebab yang biasanya secara pasti
dan lazim dapat menghantarkan kematian pada seseorang ternyata orang tersebut
tidak mati, sebaliknya malah kematian itu bisa datang secara tiba-tiba tanpa
diketahui sebab-sebabnya. Berdasarkan
hal ini para dokter umumnya menggambarkan keadaan pasien yang "hidup segan
mati tak mau" sebagai: seseorang (yang menderita penyakit mematikan) yang
menurut ilmu kedokteran tidak memiliki harapan (hidup) lagi tetapi memiliki
kemungkinan sembuh, namun hal ini berada di luar pengetahuan kita. Begitu pula pendapat mereka terhadap
seseorang yang keadaannya tidak membahayakan atau dalam keadaan sehat, namun
secara tiba-tiba keadaannya bertambah parah.
Semua
itu adalah fakta kehidupan yang telah disaksikan oleh manusia maupun ahli-ahli
kedokteran dengan mata kepalanya sendiri.
Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa sesuatu peristiwa yang dapat
mengakibatkan kematian bukan merupakan sebab kematian. Andaikan hal itu dianggap sebagai sebab,
tentu akan menghasilkan kematian secara pasti.
Dan kematian tidak dapat terjadi dengan kasus yang lain, oleh karena
tidak dapat menghasilkan kematian secara pasti, meskipun dalam satu kasus saja
dan kematian bisa datang karena berbagai macam cara, walaupun dalam satu
kasus/peristiwa saja, maka hal ini menunjukkan secara pasti bahwa hal itu bukan
sebab melainkan "kondisi" saja.
Sedangkan sebab kematian yang sebenarnya yang menghasilkan musabab
adalah sesuatu hal yang lain bukan seperti yang dijelaskan dalam "kasus/kondisi"
diatas. Adapun sebab kematian yang
sebenarnya, hal itu berada di luar kemampuan akal untuk mengetahuinya karena
berada di luar jangkauan indera manusia.
Maka manusia harus mencari petunjuk dari Allah SWT tentang masalah
ini. Hendaknya hal ini dapat dibuktikan
dengan dalil yang qath'i baik dalalahnya maupun sumbernya. Allah SWT melalui beberapa ayat dalam Al
Qur'an telah memberitakan kepada kita bahwa sebab dari kematian adalah
sampainya ajal, dan bahwasanya (Dzat) yang mematikan adalah Allah SWT. Kematian hanya datang karena ajal dan hanya
Allahlah yang mematikan. Sebagaimana
firman Allah:
"Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya" (QS Al Imron:
145).
"Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati ketika tidurnya maka
Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia
tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan
jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir"
(QS. Az Zumar: 42)
"... Tuhanku
ialah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan"
(QS Al Baqarah: 258).
"Dimana saja
kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu berada di dalam benteng yang kokoh"
(QS An Nisaa':
78)
"Katakanlah,
sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui
kamu"
(QS Al Jumuah: 8).
"Maka jika
telah datang batas waktunya (ajal), mereka tak dapat mengundurkannya barang sedetikpun dan tidak
dapat memajukannya"
(QS Al A'raf: 34)
Semua
ayat-ayat tersebut di atas dan banyak lagi ayat lainnya adalah qath'i tsubut yaitu bersumber pasti dari
Allah dan qath'i dilalah yaitu bahwasanya Allahlah yang mematikan
(makhluq). Dan sesungguhnya sebab
datangnya kematian adalah sampainya ajal bukan berupa
"keadaan/kondisi" yang dapat menghantarkan pada kematian.
Oleh karena itu, seorang muslim wajib beriman berdasarkan
akal dan syara' bahwa apa yang disangkanya sebagai sebab kematian hanya
merupakan "keadaan" bukan berupa sebab, dan bahwa sebab itu suatu hal
yang berbeda. Juga syara' telah
menetapkan melalui dalil yang qath'i bahwasanya kematian itu berada di tangan Allah. Dan Allah SWT adalah Dzat yang berhak mematikan
dan sebab kematian adalah datangnya ajal.
Apabila ajal datang, maka kematian tidak dapat diundurkan ataupun dimajukan
walaupun sedetik, dan manusia tidak akan mampu menghindarinya atau lari dari
kematian secara mutlak. Dan mati pasti
akan menjemputnya.
Adapun yang diperintahkan kepada manusia adalah agar
bersikap waspada dan menjauhkan dirinya dari "keadaan/kondisi" yang
biasanya dapat menghantarkan pada kematian, yaitu dengan cara menjauhkan/
menghindari dari suatu keadaan/kondisi yang biasanya mengakibatkan
kematian. Adapun mati maka manusia tidak
perlu takut atau lari dari kematian.
Sebab tidak mungkin ia mampu menghindarinya secara mutlak.
Manusia
tidak akan mati kecuali jika telah sampai padanya ajal. Tak ada bedanya apakah ia mati biasa,
terbunuh, terbakar, atau yang lainnya.
Yang jelas, kematian dan ajal berada di tangan Allah SWT.
KEMA'SHUMAN RASUL
Kema'shuman para Nabi dan Rasul ditetapkan kepastiannya
berdasarkan akal. Sebab keberadaannya sebagai Nabi atau Rasul telah memastikan
bahwa dia ma'shum dalam hal penyampaian risalah (tabligh) yang datang dari
Allah. Apabila terjadi suatu cacat yang
memungkinkan hilangnya sifat kema'shuman, meskipun dalam satu masalah saja,
berarti ada kemungkinan terjadinya cacat pada
seluruh masalah. Jika itu
terjadi, maka akan rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara
keseluruhan. Kepastian bahwa seseorang
adalah nabi atau rasul yang diutus Allah, berarti pula bahwa ia bersifat
ma'shum dalam masalah penyampaian risalah yang datang dari Allah.
Kema'shuman dalam hal tabligh bersifat pasti, sehingga
ingkar/ kufur terhadap sifat ini berarti kufur terhadap risalah yang dibawa
oleh Rasul tersebut, atau kufur terhadap kenabiannya yang telah ditetapkan oleh
Allah. Adapun kema'shuman dalam perbuatan-perbuatan
yang berlawanan dengan perintah dan larangan Allah, maka yang menjadi suatu
kepastian bahwa Rasul/Nabi ma'shum dalam perbuatan yang termasuk kategori
dosa-dosa besar (Al kabaair) sehingga
seorang Nabi atau Rasul tidak mungkin melakukan suatu perbuatan yang termasuk
dosa besar secara mutlak. Sebab,
mengerjakan suatu dosa besar berarti telah terjerumus dalam
"kemaksiatan". Padahal
ketaatan itu tidak dapat dipisah (harus utuh), begitu juga kemaksiatan tidak
bersifat parsial. Jika kemaksiatan telah
mewarnai suatu perbuatan, maka ia akan merambat pada masalah tabligh
(penyampaian risalah). Hal ini jelas
bertentangan dengan (hakekat) risalah dan kenabian. Oleh karena itu para Nabi dan Rasul bersifat
ma'shum terhadap dosa-dosa besar, sebagaimana ma'shumnya mereka dalam
penyampaian risalah (tabligh).
Adapun
terhadap dosa-dosa kecil (Ash shaghaair)
para ulama berbeda pendapat, apakah para Nabi dan Rasul ma'shum dari perbuatan
dosa-dosa kecil. Sebagian mengatakan
para Nabi/Rasul tidak ma'shum dari mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu
tidak termasuk kategori "maksiyat".
Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, para Nabi/Rasul ma'shum dari
mengerjakan dosa-dosa kecil, sebab hal itu sudah termasuk kategori
"maksiyat".
Yang benar adalah bahwa semua yang haram untuk dikerjakan
dan yang wajib dilakukan, yaitu berupa seluruh jenis fardlu dan seluruh bentuk
yang haram, maka dalam hal ini para Nabi dan Rasul bersifat ma'shum. Dengan demikian mereka ma'shum dari
mengerjakan sesuatu yang diharamkan atau meninggalkan suatu kewajiban. Baik hal itu termasuk dosa-dosa besar atau
dosa-dosa kecil. Ini berarti mereka
ma'shum dari mengerjakan setiap sesuatu yang termasuk perbuatan ma'siyat.
Selain itu dalam tindakan yang termasuk khilaful aula (tidak mengerjakan yang
terbaik/paling layak), maka mereka tidaklah ma'shum. Dibolehkan mereka mengerjakan tindakan
khilaful aula secara mutlaq. Sebab,
ditinjau dari berbagai sudut manapun, hal itu tidak termasuk dalam jenis
maksiyat.
Demikianlah, dapat dipastikan secara aqliy, adanya sifat
ma'shum pada Nabi dan Rasul yang ditentukan oleh keberadaan mereka sebagai Nabi
dan Rasul.
waww... bagus
BalasHapussukran
Hapus